tag:blogger.com,1999:blog-19063511457987653252024-03-13T23:37:23.390-07:00Sejarah CirebonAdhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.comBlogger55125tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-33740785114411093782010-07-01T01:32:00.000-07:002010-11-25T02:28:32.978-08:00Perang Kedongdong<div style="text-align: justify; font-family: arial;">Syahdan, karena menolak tunduk terhadap tekanan pemerintah kolonial Belanda, Pangeran Raja Kanoman memilih melepaskan takhta kesultanan. Haknya sebagai sultan dilepas begitu saja. Putra mahkota Sultan Kanoman IV itu keluar dari keraton, lalu bergabung dengan rakyat Cirebon yang menentang Belanda.<br /><br />Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun tewas.<br /><br />Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.<br /><br />Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu, tidak membuat rakyat Cirebon gentar. Pangeran Raja Kanoman itu justru makin menggencarkan perlawanan. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi si salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.<br /><br />Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.<br /><br />Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.<br /><br />Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.<br /><br />"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.<br /><br />**<br /><br />Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.<br /><br />Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.<br /><br />Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.<br /><br />Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.<br /><br />Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.<br /><br />"Belanda menolak gelar sultan pada ahli waris Sultan Carbon. Ini berbeda dengan Keraton Kasepuhan dan Kanoman, yang rajanya diperbolehkan bergelar Sultan," kata Elang Heri Komarahadi, kerabat Keraton Kacirebonan yang kini menjadi Ketua "Sekar Pandan", sanggar seni tradisional di areal keraton.<br /><br />**<br /><br />PADA 1960, setelah Indonesia merdeka, raja di Keraton Kacirebonan kembali bergelar sultan. Ketika itu, keraton dipimpin Sultan Karta Natadiningrat, lalu putranya Sultan Amir Natadiningrat. Dan, sejak 1997 sampai sekarang, keraton dipegang oleh Sultan Abdul Gani Natadiningrat.<br /><br />"Kalau melihat sejarahnya, Keraton Kacirebonan sebenarnya bukti dan simbol perlawanan terhadap Belanda. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara malah menyebut bahwa pemberontakan Cirebon itu merupakan pemberontakan santri pertama di tanah Jawa. Bisa jadi, itu menjadi inspirasi bagi Pangeran Diponegoro untuk bangkit melawan Belanda," ujar Dadang Kusnandar.<br /><br />Sampai sekarang, Keraton Kacirebonan menjadi simbol sejarah bahwa rakyat dan raja Cirebon juga memiliki rasa nasionalisme tinggi. Perjuangan mereka tak kalah heroik dengan rakyat Banten dan Sultan Ageng Tirtayasa yang menolak Belanda, termasuk Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.<br /><br />Oleh karena itu, menurut Dadang, sudah saatnya peristiwa-peristiwa bersejarah di Cirebon itu diapresiasi dan ditulis secara lebih komprehensif di buku-buku sejarah nasional. "Bila perlu, Pangeran Raja Kanoman, Raden Bagus Serangin, dan dua saudaranya yang memimpin perang Kedondong dijadikan pahlawan setingkat Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan Pangeran Antasari, "ujar Dadang Kusnandar.<br /><br />Ia pun berharap Pemerintah Kota dan Kabupaten Cirebon, memberi penghormatan kepada mereka. Misalnya dengan menjadikannya sebagai nama jalan atau nama-nama tempat strategis yang menjadi ikon Cirebon<br /><br /><br /><br />Tulisane Kang Dadang/Lingkar Budaya Cerbon.<br /><br /></div><br /><br /><br /><script><br />/** **/<br />var sitti_pub_id = "BC0002086";<br />var sitti_ad_width = "300";<br />var sitti_ad_height = "250";<br />var sitti_ad_type = "1";<br />var sitti_ad_number = "3";<br />var sitti_ad_name = "";<br />var sitti_dep_id = "2303";<br /></script><br /><script src="http://202.52.131.5/delivery/sittiad.b1.js"></script>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-8041061732441424692010-05-19T12:23:00.000-07:002010-05-19T12:44:55.419-07:00Cirebon Islam<div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Banyak tulisan yang mengulas bahwa Kesultanan Cirebon adalah enititas Kerajaan Islam yang berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Kesultanan Cirebon terletak di pantai utara pulau jawa. Saat ini berada pada perbatasan jawa tengah dengan jawa barat membuat kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Mungkin ada benarnya tulisan tersebut jika budaya Sunda diukur pada pasca kekuasaan Islam di Cirebon, dan Cirebon memiliki hubungan yang erat dengan Demak, namun menjadi aneh ketika sejarah Cirebon dijadikan alat amputasi untuk menunjukan wilayah kebudayaan Sunda. Hal ini akan sama hal nya dengan peristiwa pemisahan budaya Sunda dengan Galuh pasca Galuh memerdekakan diri sampai dengan abad ke 16.</span><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Dilihat dari kesejarahan Sunda, batas wilayah dan budaya Sunda akan sangat jelas dalam catatan lain tentang tungtung sunda :</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-weight: bold;">Pertama</span>, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatat perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (sering disebut kali Brebes) dan sungai Ciserayu (sering disebut Kali Serayu) Jawa Tengah. Sering juga disebut Tungtung Sunda.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-weight: bold;">Kedua, </span>menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Summa Oriental menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-weight: bold;">Ketiga,</span> wilayah sunda warisan Tarumanagara tentunya seluas Tarumanagara itu sendiri. Ketika Sang Purnawarman wafat, Tarumanegara membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentang kan dalam peta daerah tersebut meliputi Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah. Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun)</span><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Cirebon tidak dapat dipisahkan dari entitas kerajaan yang berada di wilayah baratnya, baik pada masa pra islam maupun masa sesudahnya.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Cirebon pada masa islam awalnya sebuah dukuh kecil yang dibangun Ki Gedeng Tapa. Cerita ini mendasarkan pada serat Sulendraningrat yang merujuk pada naskah Babad Tanah Sunda. Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama caruban. Konon nama ini merujuk pada kondisi penduduk yang bercampur dengan para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam perkembangan selanjutnya, kisah masyarakat dan budaya Cirebon mengalami kondisi yang sama seperti pertumbuhan kota Jakarta, sebelumnya bernama Kalapa yang berada di wilayah Sunda. Namun pasca masuknya islam dan dijadikannya sentra perdagangan lambat laun dianggap memiliki entitas tersendiri, lepas dari masyarakat Sunda. Mungkin menjadi sulit menelusuri awal sejarahnya yang hakiki, namun hal ini dapat diurai secara baik jika para sejarawan dapat melepaskan diri dari syak tentang awal pertumbuhannya.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam kisah lain diceritakan bahwa Ki gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, membuka hutan dan membangun sebuah gubuk. :Saat itu bertepatan pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun jawa) atau pada tahun 1445 M. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan membentuk masyarakat baru di desa caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi diangkatlah raden Walangsungsang, dengan gelara Ki Cakrabumi. Ia adalah putra Sri Baduga (Pamanah Rasa) dari Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal walangsungsang diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.</span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pasca wafatnya Ki Gedeng Tapa, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya disana, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan islam.</span><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya, putra adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Syarif Hidayatullah kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebarkan islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah pun dikenal sebagai salah satu Wali Sembilan (Songo).</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Kisah Syarif Hidayatullah diyakini pula sebagai pendiri Cirebon, sebagaimana saat ini ada dua versi yang berbeda, tentang hari jadi Cirebon. Ada versi yang merujuk pada saat Cirebon menyatakan sebagai negara Mahardika dari Pajajaran sebagai hari jadi Cirebon dan ada pula yang mengambil dari perjalanan Cakrabuana pertama membuka wilayah Cirebon.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Mitos lainnya dimasyarakat ada yang beranggapan bahwa Cirebon lebih tua dari Banten. Hal ini bukan karena tidak diketahuinya latak Salakanagara di Banten secara pasti, melainkan ada kaitannya dengan kisah ekspansi Cirebon ke Banten pada jaman Hasanudin yang dibantu ayahnya, yakni Syarif Hidayattullah, sehingga Cirebon dianggap sebagai pendiri Banten (islam).</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Cirebon makin berkembang pasca runtuhnya kerajaan-kerajaan non islam di wilayah Jawa Barat. Pada masa tersebut bisa dikatakan Cirebon sebagai puseur kekuasaan. Namun banyak pula yang akhirnya ditafsirkan berbeda, seperti memisahkan Cirebon dari entitas masyarakat sebelumnya. Padahal sejak jaman kerajaan awal (Tarumanaga), Cirebon berada di wilayahnya.</span></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-23002937445691963482010-05-19T12:19:00.000-07:002010-05-19T12:45:39.130-07:00Pusat Agama Islam<div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Ketika Hajjah Syarifah Muda’im (Rara Santang) kembali ke Cirebon, ia disertai suaminya (Syarif Abdullah) dan puteranya Syarif Hidayatullah. Mereka tinggal dan menetap di Cirebon.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Syarif Hidayat di Cirebon menjadi guru agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat. Kemudian Walangsungsang menobatkan keponakannya tersebut menjadi Tumenggung di Cirebon. Menurut Yoseph Iskandar : “Pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 (antara Maret – April 1482), Syarif Hidayat menjadi Raja Cirebon dengan Gelar Susuhunan Jati”.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Syarif Hidayatullah (1448-1568) setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ''Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah''.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah pada masa Syarif Hidayat, terutama ketika dilihat dari hubungan antar Keraton islam di Pulau Jawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><strong><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Kekerabatan Keraton</span></strong></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Hubungan dengan Demak diwarnai dengan pernikahan putra putri kedua negara tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan didalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat (Yoseph Iskandar), sebagai berikut : (1) Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana. (2) Pangeran Jaya dengan Ratu Ayu Pembayun (3) Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan atau Ratu Nyawa, putra dari Raden Patah. (4) Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II).</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Hubungan dengan Banten misalnya, Panembahan Hasanudian adalah putra terkasih dari Syarif Hidayat dari Nyi Kawunganten (Banten), bahkan Syarif Hidayat merupakan kreator penting dari direbutnya Banten melalui tahap menjadikan terlebih dahulu sebagai Kabupaten dari Cirebon. Untuk kemudian pasca meninggalnya Syarif Hidayat, Banten menjadi negara yang berdaulat penuh, sejajar dengan Cirebon.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pangeran Jaya Kelana dan Pangeran Bratakelana adalah putera Syarif Hidayat dari Syarifah Bagdad atau Syarifah Fatimah (putri dari Syekh Datuk Kahfi dari Hadijah), atau adik dari Syekh Abdurahman (Pangeran Panjunan). Pasca gugurnya Pangeran Bratakelana melawan bajak laut maka Ratu Nyawa menjadi istri Pangeran Muhamad Arifin (Pangeran Pasarean – Adipati Carbon I) kemudian gugur dalam peristiwa huru hara di Demak, ia terbuhun oleh Arya Penangsang, bupati Jipang. Untuk kemudian Arya Panangsang terbunuh pula oleh Sultan Hadiwijaya.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut Sulendraningrat : “Tradisi perkawinan ini dimaksudkan untuk menjalin persahabatan abadi tanpa memperhatikan sikap serta ambisi pribadi manusia-manusia”. Dalam pembahasan yang sama, Sulendra menjelaskan pula : “sistim perkawinan ini dimanfaat oleh Mataram untuk melancarkan “unjuk gigi”, bahwa Mataram lebih berkuasa. Gejala ini nampak sejak Mas Rangsang Sultan Agung Mataram dengan Nyi Ratu Mas Ayu Sakluh, kakak perempuan Panembahan Ratu”. Demikian pula Amangkurat I, yang menikahkan putrinya dengan Pangeran Girilaya, Amangkurat I “senantiasa ingin merebut Cirebon”. Hal inilah yang menyebabkan banyak pengamat yang menyatakan bahwa Cirebon vazzal Mataram. Padahal secara formal tidak terjadi.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Penyebaran agama islam ke daerah Kuningan atas jasa Syeh Maulana Akbar alias Syeh Bayanullah (adik Syeh Datik Kahfi), yang mendirikan pesantren di Sidapurna Kuningan. Syeh Bayanullah menikahi Nyi Wandasari putri dari Surayana putra Dewa Niskala. Dari perkawinan ini Syeh Bayanullah memperoleh putra yang kelak dikenal dengan nama Maulana Arifin, kemudian menikah dengan Rau Selawati cucu Sri Baduga.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><strong><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjanjian dan Perang</span></strong></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Kekuatan dari ikatan kekeluargaan serta adanya dukungan Demak menginspirasi para Wali untuk mendorong Syarif Hidayat menjadikan sebagai pusat kekuatan agama Islam yang merdeka, sebelumya dibawah Galuh. Kemudian pada tanggal 12 bulan Caitra tahun 1404 Saka, atau bertepatan dengan bulan April 1482 M, Syarif Hidayat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhanan Jati.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pernyataan Syarif Hidayat memancing kemarahan Sri Baduga. Untuk kemudian Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya untuk menertibkan Cirebon, namun pasukan Tumenggung Jagabaya disergap oleh pasukan gabungan Demak Cirebon di Gunung Sembung. Konon kabar Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk islam.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Sri Baduga kemudian mempersiapkan pasukannya yang lebih besar untuk menyerang Cirebon, namun berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi di keraton), dengan pertimbangan tidak baik jika seorang Sri Baduga menyerang anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara Merdeka.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Perlakuan Sri Baduga sebelumnya yang merestui Walangsungsang untuk menjadi raja di Cirebon dan memberinya gelar Sri Mangana sangat berlainan dengan peristiwa ini. Hal demikian konon kabar adanya kekhawtiran Sri Baduga tentang eratnya hubungan Cirebon dengan Demak. Sebagaimana dengan adanya ikatan 4 orang keturunannya dengan putra-putri Demak. Disamping itu Demak pun menghadirkan armadanya di Cirebon.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Kekhawatiran Sri Baduga mungkin sangat masuk akal. Pertama, suatu rahasia umum jika Pajajaran sangat lemah di laut namun kuat didarat sehingga jika terjadi peperangan pasukan Demak dapat menyerang dari arah laut dengan kekuatan meriamnya. Disatu sisi, satu hal yang tidak mungkin jika Pajajaran langsung menyerang Demak dengan tanpa adanya suatu sebab perseteruan langsung.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Kedua, kiranya perlu ada kajian yang lebih dalam tentang ini. Apakah kekhawatiran Sri Baduga memang untuk kepentingan penyebaran agama atau masalah politik perdagangan. Mengingat jika menyangkut masalah perkembangan agama islam, justru telah terjadi sejak jaman Sang Bunisora – buyut Sri Baduga dan tidak pernah terjadi benturan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Haji Purwa Galuh, putra dari Sang Bunisora menjadi penganut islam dan Haji pertama di tatar Sunda. Selain itu, Sri Baduga pun tidak melarang Walangsung dan Rarasantang, putra putrinya memeluk agama islam.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pasca wafatnya Sri Baduga hubungan Cirebon – Pajajaran makin memanas, tak kurang dari lima belas kali (Carita Parahyangan) dalam waktu lima tahun peperangan terjadi di front barat. Sementara di front timur penguasa Galuh mulai ikut campur untuk mengembalikan Cirebon sebagai bagian dari negaranya. Ketika masa persiapan penyerangan ini Pangeran Walangsungsang wafat, sehingga penyerangan ke Galuh menjadi terhambat.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Penyerangan ke Talaga kemudian terlaksana satu tahun setelahnya. Talaga merupakan benteng akhir dari kekuasaan Galuh di wilayah timur Citarum. Dengan demikian pada tahun 1528 M praktis Galuh dikuasai Cirebon. Namun patut dicermati, peperangan ini terjadi antara satu keturunan yang sama, asli teureuh sunda – Galuh. Ibunda penguasa Galuh, Mayangsari masih keturunan Dewa Niskala, sedangkan Sayrif Hidayat terhitung buyut dari Dewa Niskala. Hanya saja dalam pertempuran itu, pasukan Cirebon banyak dibantu pasukan Demak yang telah memiliki senajat Meriam, pada waktu itu disebut pada berapi.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Dengan dikuasainya wilayah Galuh sudah cukup bagi Syarif Hidayat menghentikan serangannya ke Pakuan, bahkan batas kekuasaan Cirebon sudah mendekati Citarum.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut Yoseph Iskandar : “Kemenangan Cirebon di wilayah timur telah memperluas kekuasaan Sunan Jati. Sumedang masuk dalam wilayah kekuasaan Cirebon, ditempuh dengan jalan perkawinan kerabat Keraton Cirebon dengan Sumedanglarang. Sebagai tanda kekerabatan, Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) berjodoh dengan Ratu Satyasih, penguasa Sumedang Larang yang bergelar Pucuk Umum Sumedanglarang, ia pun putra dari Pengeran Muhamad (Pangeran Palakaran) cucu dari Pangeran Panjunan Cirebon”.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pengaruh keruntuhan Galuh akibat salah perhitungan Prabu Jayaningrat menginspirasi Prabu Wisesa (Pakwan) untuk mengukuhkan – mempertahankan wilayah yang tersisa. Disatu sisi Susuhunan Jati sudah cukup puas dengan wilayah yang ada saat ini, maka Kemudian Prabu Surawisesa mengirimkan utusan ke Cirebon untuk melakukan perdamaian. Hal ini pun disambut baik oleh Susuhunan Jati.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Yoseph Iskandar didalam buku yang sama menjelaskan, bahwa : “pada tanggal 14 paro terang bulan Asadha tahun 1453 Saka atau 12 Juni 1531 M, perjanjian damai disepakati :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">(1) kedua belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang, silih asih ; dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">(2) kedua belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris Sri Baduga Maharaja, janganlah putus.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut Carita Parahyangan (Kropak 406) dijelaskan mengenai Surawisesa, yakni: Kadiran, kasuran, kuwanen, prangrang limawelas kali henteu eleh (Perwira, perkasa, pemberani, perang lima belas kali tidak pernah kalah)”.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjanjian tersebut dari pihak Cirebon terlibat juga para endoser perjanjian, yakni Syarif Hidayat, Fadillah Khan, Panembahan Hasanudin dan Panembahan Yusuf (Banten).</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Perjanjian tersebut rupanya tidak dapat bertahan selamanya, pasca meninggalnya para penandatanganan perjanjian dan Prabu Surawisesa, kemudian Panembahan Yusuf (Banten) tergoda untuk menaklukan Pajajaran, sekalipun telah beberapa kali ia lakukan namun tak pernah membuahkan hasil. Maka pada tahun kesembilan masa pemerintahannya ia menyerang Pakuan dengan mengerahkan pasukan gabungan Banten – Cirebon. Itupun berhasill mendobrak benteng Pakuan setelah ada bantuan dari prajurit Pajajaran yang berkhianat dengan cara membuka gerbang dari dalam.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Menurut Pustaka Nusantara III/I dan Pustaka Kertabhumi : Pajajaran Sirna Ing Bhumi ing ekadacaicuklapaksa wesakhamasa sahasra limangatus punjul siki ikang cakakala (tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501), bertepatan dengan 8 Mei 1579 M atau 11 Tabiul awal 987 H.</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Bahan Bacaan :</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;"></span><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;"><div style="text-align: justify;"> </div></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">1.Tokoh Pangeran Wangsakerta Menurut Tradisi Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, dalam buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta – Pustaka Jaya, Bandung – 2005.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">2. http:/id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">3. rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat, proyek penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat – Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">4. Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten – 2005.<br /><br />di posting dari sumber :http://akibalangantrang.blospot.com<br /></span></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-28377755568862530712010-05-19T11:56:00.000-07:002010-05-19T12:46:33.198-07:00Cirebon Girang<div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Eksistensi Cirebon Girang didalam buku “Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat” diceritakan mulai dikenal sejak abad ke 15 M. Keberadaannnya tidak dapat dilepaskan pula dari eksistensi Indraprahasta dan Wanagiri. </span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Konon Wanagiri pada masa silam pernah menjadi bawahan Indraprahasta, lebih tepat jika merupakan gabungan dari Indraprahasta dan Wanagiri, mengingat keduanya sudah dikenal dan disebut-sebut pada masa Purnawarman bertahta di Tarumanagara. Indraprahasta pasca Purnawarman dikenal memiliki pasukan yang loyal terhadap Tarumanagara, bahkan berperan penting ketika Wisnuwarman menumpas pemberontakan Cakrawarman. Sedangkan Wanagiri pasca dikuasai Cakrawarman disebut-sebut dijadikan sebagai basis penting dari Cakrawarman. Sayang, referensi tentang Wanagiri sangat kurang dibandingkan kadaton lainnya.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Penyatuan Indraprahasta dengan Wanagiri pasca dibumi hanguskannya Indraprahasta oleh Sanjaya (Maharaja Sunda – Galuh, yang kemudian menjadi raja di Pulau Jawa), karena Indraprahasta dianggap pendukung penting dari kekuatan pasukan Purbasora yang berhasil mengusir Sena, ayah Sanjaya dari tahtanya (selanjutnya baca : pisuna di Galuh).</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Kaitan Indraprahasta didalam pemberontakan ini karena raja Padmahariwangsa, raja Indraprahasta mempunyai putri sulung (Citrakirana) dipersunting oleh Purbasora (Galuh). Anak kedua diberinama Wirata, dikemudian hari bertahta sebagai raja Indraprahasta ke-14. Sedangkan putri bungsunya bernama Gangga Kirana dipersunting oleh Adipati Kusala raja Wanagiri, bawahan Indraprahasta. Pasca penghancuran Indraprahasta dan terbunuhnya Purbasora dan Wirata, kemudian Sanjaya mengangkat Kusala sebagai penguasa Indraprahasta dan Wanagiri dan berkedudukan di Wanagiri, ketika itu sudah menjadi bawahan Galuh.</span><br /><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Tentang Cirebon Girang pada periode berikunya disebut-sebut memiliki kaitan dengan keturunan dari Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda-Galuh (1357 – 1371). Sang Bunisora ketika itu bertindak sebagai pengganti raja setelah kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat. </span><br /><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Sang Bunisora dikenal pula sebagai Pandita Ratu yang memiliki sebutan tinggi keagamaan di jamannya, ia pun sangat toleran terhadap pemeluk agama lainnya, bahkan salah satu putranya, yakni Sang Bratalagawa, putera kedua Sang Bunisora yang usianya dua tahun lebih muda dari sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, disebut sebut sebagai Haji Galuh Pertama dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.</span><br /><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Sang Bunisora dari permaisuri diantaranya peroleh putera, diantaranya ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon Girang. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445. </span><br /><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">Pasca Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, maka pada tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II. Untuk kemudian pada tahun 1454 ia diangkat oleh Raja Pajajaran (Prabu Silihwangi) untuk menjadi Tumenggung diwilayah tersebut dengan gelar Sri Mangana. Cirebon Girang sekarang hanya tinggal sebuha nama desa yang terletak di Cirebon Selatan.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial,Helvetica,sans-serif;">sumber dari http://akibalangantrang.blospot.com</span><br /></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-90569104663785226552010-05-19T11:43:00.000-07:002010-05-19T12:48:50.455-07:00Menengok Sejarah Perjalanan Haji Tempo Dahulu<p style="text-align: justify;">Menunaikan ibadah haji wajib hukumnya, bahkan menjadi salah satu rukun Islam bagi madzhab Ahlussunnah dan sebagai kewajiban furu’uddin dalam madzhab Syi’ah. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan merupakan kewajiban terberat dalam Islam.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Orang yang melaksanakan ibadah haji ke tanah suci mengahdapi resiko yang tidak kecil, mulai dari kesengsaraan di perjalanan (khusus jemaah haji Indonesia kesengsaraan itu sudah terasa jauh hari sebelum keberangkatan), hingga ancaman kematian akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji saat melakukan ritual haji seperti pernah dialami beberapa tahun yang lalu akibatnya semrawutnya pelayanan haji yang diselenggaran sang “Khadimul Haramain”. Bahkan –lagi-lagi khusus untuk jemaah haji Indonesia- kelaparan.<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Itu sekarang ketika semua sarana dan prasarana pelaksanaan jemaah haji sudah sangat modern. Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Konon, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sejak kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Prof. Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak. </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan –pada jaman itu- perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sekarang perjalanan haji seharusnya tidak sesulit jaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang ingin menunaikannya.<br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> <b>Sumber: Kian Santang</b><br /><b>di posting dari :http://www.al-shia.org</b><br /></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-15248618652135605502010-05-19T11:39:00.000-07:002010-05-19T12:53:03.514-07:00Sejarah Bendera Indonesia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_VXN6msfxcNQ/S_QxAU3x8NI/AAAAAAAAAKQ/5ev1rn-UEYk/s1600/kl0hul2g.gif"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 200px; height: 189px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_VXN6msfxcNQ/S_QxAU3x8NI/AAAAAAAAAKQ/5ev1rn-UEYk/s200/kl0hul2g.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473053328834425042" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">1.</span> Menurut sejarah, Bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah Semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan Candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.<br /><br /></div><p style="text-align: justify;">Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">2.</span> Pada permulaan masehi selama 2 abad, rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut Nekara Bulan Pajeng yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah symbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada abad XIX tentara napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera “gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa Negara di dunia.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">3.</span> Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur , dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah dan putih.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">4.</span> Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah – putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang Runtuhnya Singosari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">5.</span> Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah – putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji – panji peninggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji – panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa . dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">6.</span> Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul – umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera , di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara – upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">7.</span> Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah – tengah pasukan Diponegoro yang beribu – ribu juga terlihat kibaran bendera merah – putih, demikian juga di lereng – lereng gunung dan desa – desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah – putih. Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra – putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">INDONESIA </p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah – putih.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pengibaran Bendera Merah-putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bendera merah-putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang<br />tertinggi.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify; font-weight: bold;">Sumber: http://www.gamexeon.com</p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-31736147818172479432010-05-19T11:33:00.000-07:002010-05-19T13:01:50.970-07:00Sejarah Acuan Berdirinya Kabupaten Cirebon<div style="text-align: justify;">Ada perbedaan mendasar mengenai Hari Jadi anatara Kabupaten Cirebon dengan Kota Cirebon. Kota Cirebon membuat acuan berdirinya Cirebon tanggal I Muharrom, saat Cakra Buwana membuka Dukuh Tegal Alang-Alang. Sedangkan Kabupaten Cirebon mengacu pada deklaeasi Pemisahan Diri Cirebon dari Pajajaran, yakni tanggal 12 Shofar 887 H atau 2 April 1482 M.<br /><br /><span id="more-26"></span><br />Sejarah Cirebon menurut berbagai pihak di Cirebon adalah berarti sejarah Indonesia dan sejarah umat Islam. Setidaknya itu adalah anggapan Tim Pemurnian Sejarah Cirebon, seperti yang diungkapkan Kartani dan Kaenudin. Menurut mereka Belanda di Cirebon tidak hanya merusak Aqidah Islam tapi juga sejarah Islam di Cirebon. Menurut Prof. A. Hasjmy, sejarah umat Islam dan Indonesia telah diputarbalik oleh Belanda dan musuh-musuh Islam, begitu juga pendapat H. Alamsyah Ratu Prawiranegara tahun 1981. Sehingga Prof. Mr. MM Djojodigoeno menekankan penting penyelidikan sejarah dilakukan oleh bangsa sendiri untuk mendapatkan obyektifitas.<br /><br /></div><p style="text-align: justify;"> Khusus masalah sejarah Cirebon, Tim pemurnian Sejarah Cirebon dalam suratnya bernomor 01/TPSC/IX/2005 yang ditujukan pada para pimpinan daerah dan para tokoh Cirebon menyatakan bahwa sejarah Cirebon telah dimanipulasi oleh bangsa sendiri (Wong Cherbon), yang mengakibatkan terjadinya sejarah peteng (gelap). Anggota tim ini antara lain Ki Kuwu Abadi, Ketua Forum Komunikasi Kuwu Bersatu Kabupaten Cirebon, Ki Kartani sejarawan Cirebon, Drs. R. Udin Kaenudin, Msi yang menyatakan diri keturunan pendiri Cirebon (P. Cakrabuana), Pangeran Makmur S.Sos, Sesepuh Martasinga Wargi Kasultanan Cirebon dan Ahmad Jazuli dari LSM Tunas Nusantara.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Dari sumber literatur dalam negeri, disebutkan pada hari Jum’at kliwon tanggal 14 Kresna Paksa Cetra Masa 1367 Saka diperkirakan tahun 1445 Masehi, Pangeran Walangsungsang Putra Raja Pajajaran Sri Beduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi, mulai membuka hutan bersama 52 orang penduduk dipesisir utara Jawa. Tempat itu kemudian disebut dukuh Tegal Alang-alang yang makin lama menjadi ramai, sehingga karena adanya interaksi sosial yang tinggi, datanglah para pedagang dan orang-orang untuk menetap, bertani dan menjadi nelayan.</p><p style="text-align: justify;"><br />Dukuh Tegal Alang-alang kemudian diberi nama Desa Caruban karena penduduknya dari berbagai suku bangsa, Caruban berarti campuran. Sumber-sumber Barat yang monumental seperti catatan Tome Pires (Portugis) menyebut Cirebon dengan Corobam, dalam catatannya Pires mengatakan Corobam adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar besar dan sentra perdagangan yang merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Sumber-sumber Belanda menyebutnya Charabaon (Rouffaer) Cheribon atau Tjerbon (Kern). Dan dari sumber lokal didapat penyebutan Sarumban, Carbon, Caruban, Cherbon bahkan Grage.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Masyarakat kemudian memilih Ki Danusela yang disebut Ki Gedeng Alang-alang selaku penguasa Tegal Alang-alang sebagai Kuwu Carbon I, sedangkan Pangeran Walangsungsang sebagai Pangraksa Bumi dengan gelar Ki Cakra Bumi. Pada tahun 1447 Ki Danusela meninggal dan Ki Cakra Bumi dipilih masyarakat untuk menggantikannya sebagai Kuwu Carbon II dengan sebutan Pangeran Cakra Buwana. Sebelum membuka Dukuh Tegal Alang-alang Pangeran Walangsungsang dan para pengikutnya telah lebih dulu masuk Islam.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Oleh karena itu perlu juga dikemukakan beberapa masalah sebelumnya yakni, beberapa kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon. Beberapa Kerajaan dan keraton itu antara lain, Kerajaan Indraprahasta, Keraton Carbon Girang, Keraton Singapura, Keraton Japura dan Keadipatian Palimanan dibawah Pemerintahan Keraton Rajagaluh.</p><p style="text-align: justify;"><br /><span style="font-weight: bold;">1. Kerajaan Indraprahasta</span></p><p style="text-align: justify;"><br />Diperkirakan berdiri tahun 363 – 723 Masehi, lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Raja pertamanya Resi Santanu dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warman Dewi, Raja Slakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Raja-raja yang pernah berkuasa adalah :</p><p style="text-align: justify;"><br />1. Prabu Resi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana, memerintah tahun 363 – 398 M<br />2. Prabu Resi Jayasatyanegara ( 398 – 421 )<br />3. Prabu Resi Wiryabanyu, mertua dari Prabu Wisnuwarman ( 421 – 444 )<br />4. Prabu Wama Dewaji ( 444 – 471 )<br />5. Prabu Wama Hariwangsa ( 471 – 507 )<br />6. Prabu Tirta Manggala Dhanna Giriswara ( 507 – 526 )<br />7. Prabu Asta Dewa ( 526 – 540 )<br />8. Prabu Senapati Jayanagranagara ( 540 – 546 )<br />9. Prabu Resi Dharmayasa( 546 – 590 ), masa lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tahun 571 M<br />10. Prabu Andabuwana, ( 590 – 636) menjelang berakhir masa kekuasaannya Nabi Muhammad SAW. Wafat, sekitar tahun 632 M.<br />11. Prabu Wisnu Murti ( 636– 661 ), Tentara Islam sudah membebaskan wilayah Palestina, Syiria, Irak, Mesir dan jauh sebelumnya Yaman sudah dalam kekuasaan Islam sejak menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW.<br />12. Prabu Tunggul Nagara ( 661 – 707 ), pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.<br />13. Prabu Resi Padma Hari Wangsa ( 707 – 719 ), pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu itu juga sudah terkenal.<br />14. Prabu Wiratara ( 719 – 723 ), pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah menjadi super state dan dari keunggulan militer telah menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa dibawah peradaban Romawi dan Yunani.<br />Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.</p><p style="text-align: justify; font-weight: bold;"><br /></p><div style="text-align: justify; font-weight: bold;"> </div><p style="text-align: justify; font-weight: bold;">2. Keraton Carbon Girang</p><p style="text-align: justify;"><br />Keraton Carbon Girang berasal dari keraton Wanagiri, setelah runtuhnya Indraprahasta yang didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Keraton Carbon Girang antara lain diperintah oleh :<br />1. Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng Kasmaya.<br />2. Ki Ghedeng Carbon Girang Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445. Kemudian setelah Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II, pada tahun 1454 diangkat oleh Raja Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">3. Keraton Singapura<br />Singapura merupakan sebuah pemerintahan bawahan Galuh yang sejajar dengan Keraton Carbon Girang. Letak Keraton Singapura sekira empat kilometer utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati sekarang), batas dan luas tidak jelas, tetapi ada perkiraan sebagai berikut ;</p><p style="text-align: justify;"><br />Sebelah Utara berbatasan dengan Surantaka,<br />Sebelah Barat berbatasan dengan Carbon Girang,<br />Sebelah Selatan berbatasan dengan Keraton Japura,<br />Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa Teluk Cirebon.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ghedeng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Pada masa pemerintahan Ki Ghedeng Tapa itulah dibangun Mercusuar yang pertama oleh Laksamana Te Ho tahun 1415 Masehi. Mercusuar tersebut menjadi awal kebangkitan kegemilangan Pelabuhan Cirebon. Singapura telah berdiri sebelum Prabu Siliwangi naik tahta pada tahun 1428.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">4. Keraton Japura<br />Japura berasal dari kata ” Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi ;<br />Sebelah Utara Laut Jawa,<br />Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring,<br />Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci,<br />Sebelah Timur Desa Gebang<br />Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti Mandra Guna.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">5. Keadipatian Palimanan<br />Keadipatian Palimanan dibawah pemerintahan Raja Galuh, dipimpin oleh seorang Adipati bernama Arya Kiban. Pusat Keadipatian terletak di Pegunungan Kapur Gunung Kromong Kecamatan Palimanan sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan Banyu Panas, saat itu wilayahnya meliputi Kecamatan Ciwaringin dan Kecamatan Susukan. Masa Keadipatian berlangsung hingga tahun 1528, pada saat pecahnya perang terakhir di Gunung Gundul antara Palimanan melawan Carbon.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Hampir terjadi peperangan antara Kerajaan Galuh yang beribukota di Galuh Pakuan melawan Pakuan Pajajaran. Pada perundingan diplomatik para tokoh kedua Kerajaan ditunjuklah Jaya Dewata, putra Prabu Dewa Niskala dari Galuh sebagai penengah dan penyelamatan dua tahta, pada tahun 1482 Jaya Dewata menerima Tahta Galuh dari ayahandanya Prabu Dewa Niskala dan dari mertuanya yaitu Prabu Susuk Tunggal menerima tahta Pakuan Pajajaran. Sebagai penguasa dua Kerajaan Jaya Dewata berhak menyandang gelar Sri Baduga Maha Raja, masyarakat Jawa Barat memberi gelar kepadanya Prabu Siliwangi yang berarti Raja pengganti Prabu Wangi, Keratonnya disebut Keraton Pakuan Pajajaran.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Prabu siliwangi menikah dengan Nyai Subang Larang tahun 1422, dari istrinya ini memiliki 3 orang anak yaitu Pangeran Walangsungsang lahir 1423, Nyai Lara Santang lahir 1426 dan Raja Sangara lahir tahun 1428 M, ketiganya kelak masuk Islam dan Pangeran Walangsungsang kemudian mendirikan Cirebon dan diikuti kedua adiknya itu.</p><p style="text-align: justify;"><br />Tahun 1442 M, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton Pajajaran untuk berguru Agama Islam ke Daerah Timur, yakni Gunung Amparan Jati tempat dakwahnya Syekh Nur Jati atau Datuk Kahfi yang berasal dari Parsi.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Atas petuah Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang kemudian berangkat Naik Haji ke Mekkah. Hal itu terjadi setelah membuka Cirebon. Mereka tidak langsung pulang, Nyai Lara Santang kemudian menikah dengan penguasa Mesir yaitu Syarif Abdullah. Dari pernikahan ini mendapat dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Sepulang naik haji, Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana selain mendirikan Mesjid juga sebuah rumah besar untuk ditempati bersama putrinya yang bernama Nyai Pakung Wati, dari perkawinannya dengan Nyai Endang Geulis.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Setelah Ki Jumajan Jati, Kakek Pangeran Cakrabuwana meninggal Keratuan Singapura vakum, harta kekayaannya kemudian dibawa ke Carbon untuk membangun Keraton Pakung Wati dan membentuk Prajurit yang disebut Dalem Agung Nyai Mas Pakung wati.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Tahun 1470, Syarif Hidayatullah datang ke Pulau Jawa, mulanya ke Banten, kemudian ke Jawa Timur untuk mengikuti musyawarah dengan para Mubaligh yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah melahirkan pembentukan Dewan Wali Sanga, suatu lembaga kepemimpinan presidium penyebaran Islam di tanah Jawa. Hasil musyawarah menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai penanggung jawab dakwah Islam di Jawa Barat dengan pusat penyebaran Carbon.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Untuk itu Syekh Syarif Hidayatullah menemui Uwaknya yaitu Pangeran Cakrabuwana Kuwu Carbon II yang sudah menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana. Bersama beliau Syekh Syarif Hidayatullah membuat basis penyebaran yakni Padepokan Pekikiran di Gunung Sembung. Dakwah dilancarkan ke daerah Luragung, Palimanan dan Kuningan.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Sunan ampel Wafat tahun 1478 M, Syarif Hidayatullah ditunjuk sebagai penggantinya. Selanjutnya pusat penyiaran Islam di tanah Jawa dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut Puser Bumi. Pusat pemerintahan di Pakung Wati yang ibu kotanya disebut Grage. Saat itu pula dibangun Mesjid agung Sang Cipta Rasa.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Pada tahun 1482 M, Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Carbon I membuat pernyataan kepada Maha Raja Pakuan Pajajaran Sri Baduga Maha Raja Prabu Siliwangi, bahwa Kasultanan Carbon adalah sebuah negara merdeka. Peristiwa tersebut terjadi pada Dwa Daksi Sukla Paksa Cetra Masa Sahasra Patang Atus Papat Ikang Sakakala (12 Cetra masa 1404 Saka) bertepatan dengan tanggal 12 Shafar 887 Hijriyah, menurut Ki Kartani tahun 888 Hijriyah atau 2 April 1482 M jatuh pada hari Kamis.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Menurut sejarawan Cirebon, alasan yang mendorong Syarif Hidayatullah melakukan tindakan itu antara lain :</p><p style="text-align: justify;"><br />1. Pindahnya ibukota kerajaan yang membawahi Carbon dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (Bogor), maka jarak Carbon menjadi jauh.<br />2. Syarif Hidayatullah telah mendapat mandat dari Dewan Wali Sanga untuk menyebarkan Islam di Tatar Jawa bagian Barat (sunda).<br />3. Carbon mendapat dukungan tentara Demak berdasarkan perjanjian persahabatan dan dalam musyawarah Wali Sanga, terlebih setelah Sunan Ampel Wafat.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Dilihat dari alasan diatas, alasan kedualah yang paling kuat, karena dakwah tidak akan berhasil tanpa kekuatan politik, padahal itu takkan didapat dari Pakuan Pajajaran yang Hindu. Dan untuk itu Syarif Hidayatullah berani menempuh resiko apapun.</p><p style="text-align: justify;"><br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"> Jelas ini merupakan tamparan keras bagi Prabu Jaya Dewata yang baru saja dinobatkan menjadi Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi. Perhitungan Moral sebagai cucu kepada kakek dikesampingkan untuk menegakkan kebenaran yang diyakini, yakni Islam.</p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-50150218118643507392010-05-19T09:30:00.000-07:002010-05-19T13:08:46.689-07:00Sejarah Balai Pemasyarakatan Klas 1 Cirebon<div style="text-align: justify;"><meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CWebsis%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Arial Narrow"; panose-1:2 11 5 6 2 2 2 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} p.MsoBodyText2, li.MsoBodyText2, div.MsoBodyText2 {mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0in; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> </div><table class="MsoNormalTable" style="text-align: left; margin-left: 0px; margin-right: 0px;" border="0" cellpadding="0"> <tbody><tr style=""> <td style="padding: 0.75pt; width: 100%;" width="100%"> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="padding: 0.75pt; width: 100%;" width="100%"> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="padding: 0.75pt; width: 100%;" width="100%"> <p class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><a href="http://www.bapas-cirebon.org/component/mailto/?tmpl=component&link=aHR0cDovL3d3dy5iYXBhcy1jaXJlYm9uLm9yZy9wcm9maWw%3D" title="E-mail">
<br /> </a><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Sistem pemasyarakatan merupakan bagian dari proses peradilan pidana, dimana pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi social Warga Binaan Pemasyarakatan ke tengah-tengah masyarakat.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Perkembangan selanjutnya , pelaksanaan system pemasyarakatan semakin mantap seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang ini memperkokoh usaha-usaha mewujudkan system pemasyarakatan, sebab system ini sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak lagi mengulangi tindak pidana, sehingga dapt diterima kembali oleh lingkungn masyarakat, aktif berperan serta dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga masyarakat yang baik.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Selain itu diundangkannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, BAPAS mempunyai peran penting dalam proses peradilan anak . Pembimbing Kemasyarakatan (PK) bertugas membantu memperlancar tugas penyidik dan penuntut umum dalam masalah anak nakal yang berkonflik dengan hukum dengan membuat penelitian kemasyarakatan ( litmas ). Ditinjau dari peran BAPAS yang sebelumnya hanya mencakup dua aspek kegiatan utama yaitu pembuatan LITMAS dan pembimbingan, maka dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 dan UU No.23 Tahun 2002 peran BAPAS menjadi 4 (empat) aspek kegiatan ;<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1. Pembuatan LITMAS<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2. Pembimbingan<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3. Memberi Pertimbangan<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">4. Mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Balai Pemasyarakatan sebagai pelaksana system dituntut mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan perubahan yang terjadi di masyarakat semaksimal mungkin. Sebagaimana perannya sebagai lembaga yang menyiapkan kembalinya Warga Binaan Pemasyarakatan ditengah-tengah masyarakat, serta memberikan pertimbangan kepada Hakim, penyidik dan penuntut bagi anak yang terlibat dengan masalah hukum. Pada prinsipnya semua bermuara pada penegakan dan penerapan hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Pemasyarakatan Klas I Cirebon merupakan satu dari 4 ( empat ) Balai pemasyarakatan yang ada di wilayah Jawa Barat. Eksistensi Balai Pemasyarakatan Klas I Cirebon bukan hal yang baru , sebagai Unit Pelaksana Tehnis Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, unit kerja ini sudah berdiri sejak tahun 1971. tepatnya terhitung mulai anggal 01 April 1971 dengan nama Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : DDP .4.1/12/43 tanggal 14 Mei 1971.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Dalam rangka mempersiapkan pembukaan Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Cirebon, ditugaskan 4 ( empat ) orang pegawai dari Kantor Pusat Direktur Jenderal Bina Tuna Warga, yaitu : <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1 I. Y. Poniyo, BA selaku Kepala Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Cirebon.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1. Husin Setiamiharja selaku staf Tehnis<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2. Y. Koesnindar selaku staf tehnis<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3. Agus Soewito selaku staf tehnis.</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Pada tangal 09 September 1971 Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Cirebon diresmikan oleh Kepala Wilayah Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Jakarta Raya dan jawa Barat ( Drs. Hasan Utoyo ) bertempat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cirebon.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Berdasarkan surat Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Departemen Kehakiman RI, Nomor : DDP.IV/4/Dirdjen/3/72 tanggal 04 Januari 1972 pelaksanaan kegiatannya sementara menenpati salah satu ruangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cirebon dengan dibekali fasilitas :
<br /></span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1. Sebuah sepeda merek phonix<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2. Sebuah mesin ketik merk remington<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3. Alat tulis kantor seperlunya.</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Sepanjang perjalanannya Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Cirebon telah mengalami beberapa perubahan yang mendasar sebagai berikut :
<br /></span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1. Tahun 1971 , pembentukan Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Cirebon, berdasakan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : DDP. 4/12/43 tanggal 14 Mei 1971.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2. Tahun 1987 , berdasarkan Keputusan menteri Kehakiman RI no. M.02 – PR .07.03 Tahun 1987 , nomenklatur Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak berubah menjadi Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3. Tahun 1997 , sebagai tindak lanjut ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Pemasyarakatan , maka nomenklatur Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengantasan Anak diubah menjadi Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ), berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01 – PR . 07.03 Tahun 1997 tanggal 12 Pebruari 1997.</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Seiring perjalanan waktu dan perkembangan jaman Balai Pemasyarakatan Cirebon yang ada sekarang telah semakin berkembang. Sehingga berpengaruh terhadap klasifikasi Kantor, dimana pada awal pembentukannya tahun 1971 sampai akhir tahun 2003 Balai Pemasyarakatan berada pada klasifikasi Kelas II, kemudian pada bulan Desember 2003, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M. 15.PR . 07.03 Tahun 2003 tanggal 31 Desember 2003 klasifikasinya berubah menjadi Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) Kelas I .</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Perubahan yang signifikan terletak pada struktur organisasi, yaitu : <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1. Tahun 1971 , sebelum adanya Organisasi dan Tata Kerja , maka pelaksanaan tugas didasarkan pada Surat keputusan Intern Kepala Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak , dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">a. Kepala Urusan tata Usaha meliputi Kepegawaian, Keuangan, Umum / Rumah Tangga / Perlengkapan.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">b. Kepala Pembinaan Narapidana dan Anak Didik.</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2. Tahun 1978 , Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan dan kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak , yaitu Kepala Kantor Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">a. Kepala Urusan Tata Usaha meliputi Kepegawaian, Keuangan , Umum / Rumah Tangga / Perlengkapan.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">b. Kepala Sub Seksi Pembinaan Narapidana<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">c. Kepala Sub Seksi Pembinaan Anak Didik.</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3. Tahun 1987 , Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.02 – PR.07.03 Tahun 1987 , dimana Kepala Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">a. Kepala Urusan Tata Usaha<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">b. Kepala Sub Seksi Bimbingan Klien Dewasa<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">c. Kepala Sub Seksi Bimbingan Klien Anak.</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">4. Tahun 2003 , berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.15.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Peningkatan Kelas Balai Pemasyarakatan Cirebon dan Balai pemasyarakatan Malang dari Kelas II menjadi Kelas I, struktur Organisasinya adalah Kepala Balai Pemasyarakatan dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">a. Kepala Sub Bagian tata Usaha, dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1). Kepala urusan Kepegawaian<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2). Kepala Urusan Keuangan<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3). Kepala Urusan Umum<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">b. Kepala Seksi Bimbingan Klien Dewasa, dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1). Kepala Sub Seksi Registrasi<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2). Kepala Sub Seksi Bimbingan kemasyarakatan<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3). Kepala Sub Seksi Bimbingan Kerja<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">c. Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak, dibantu oleh :<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1). Kepala Sub Seksi Registrasi<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2). Kepala Sub Seksi Bimbingan kemasyarakatan<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3). Kepala Sub Seksi Bimbingan Kerja</span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya Balai Pemasyarakatan Cirebon mengalami 2 ( dua ) kali perubahan wilayah kerja. Pada tahun 1971 wilayah kerjanya meliputi Eks Karesidenan Cirebon terdiri dari Kota dan kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu. Kemudian tahun 1987 ,meliputi eks Karesidenan Cirebon ditambah Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya . Namun sejak didirikannya Balai pemasyarakatan Garut berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : M.06. PR . 07.03 Tahun 2007 tanggal 23 pebruari 2007, maka wilayah kerja Balai Pemasyarakatan Klas I Cirebon menjadi 5 Kabupaten dan Kota, yaitu Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Indramayu.
<br /></span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Dalam upaya memperlancar pekerjaan, Balai Pemasyarakatan Cirebon mengalami beberapa kali perpindahan kedudukan kantor. tahun 1971 menempati salah satu ruangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cirebon; Tahun 1972, pindah ke Jalan Pancuran No. 118 Cirebon. Tahun 1976 pindah ke gedung Kantor Baru di Jalan Teratai No. 198 Tedeng Daya Cirebon / perbatasan Kota dan Kabupaten Cirebon. Kemudian terakhir, keempat pindah ke eks gedung Balai Harta Peninggalan Cirebon yang terletak di Jalan Dr. Wahidin S no. 54 Kota Cirebon sampai sekarang. Saat ini Balai Pemasyarakatan Klas I Cirebon menjadi lembaga yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas, khususnya wilayah kerjanya.
<br /></span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">Hal ini tidak lepas dari upaya pengoptimalisasian kinerja oleh Kepala Balai Pemasyarakatan. Sejak terbentuknya, lembaga ini sudah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan , yaitu :
<br /></span></p><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2">
<br /><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">1. Tahun 1971 sapai dengan tahun 1984 : Drs.I.Y Poniyo<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">2. Tahun 1984 sampai dengan tahun 1990 : Murdiyanto, Bc.IP<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">3. Tahun 1990 sampai dengan tahun 1995 : Djati Setiawan, Bc.IP<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">4. Tahun 1995 sampai dengan tahun 1999 : Drs. Mansyur Malllaena, Bc.SW<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">5. Tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 : Drs. Hapidi Iyos Saputra, Bc.SW<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">6. Tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 : Muhammad Surip, Bc.SW<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">7. Tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 : Slamet Rahardjo, Bc. IP<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";">8. Tahun 2008 sampai sekarang : Muhamad Drais Sidik Bc.IP.SH
<br />
<br />di ambil dari sumber :http://www.bapas-cirebon.org<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText2"><span style="font-size: 13pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-15681552709667484342010-05-19T08:11:00.000-07:002010-05-19T08:15:47.818-07:00“Sang Adipati Kuningan” adalah “Putra” Luragung<div style="text-align: justify; font-style: italic;" class="entrytext"> <div class="snap_preview"><div class="entry"> <div class="snap_preview"> <p>Menelusuri jejak sejarah Kabupaten Kuningan, terutama membedah tokoh “Sang Adipati Kuningan” yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan pada masa penyebaran Islam di Cirebon (Jawa Barat) dan sekitarnya akhirnya dapatlah diungkapkan bahwa nama Sang Adipati Kuningan yang sebenarnya adalah SURANGGAJAYA. Ia adalah putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala daerah di Luragung) bernama JAYARAKSA. Jayaraksa juga punya saudara laki-laki yang memimpin daerah Winduherang bernama BRATAWIYANA atau BRATAWIJAYA (?) yang dijuluki juga Ki Gedeng Kamuning atau Arya Kamuning.</p> <p>Ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam, di antaranya sampai pula ke Luragung, beliau disusul kedatangannya ke Luragung oleh istrinya bernama putri Ong Tien (asal Campa) yang juga bernama Nyai Rara Sumanding. Ketika itu sang istri sedang mengandung tua, dan di Luragung pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak. Namun sayang putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati hati beliau yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta kepada Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih bayi untuk diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya Suranggajaya.<span id="more-4"></span></p> <p>Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding. Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah Kuningan.</p> <p>Setelah ke Luragung perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke Winduherang (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kuningan/Kajene) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu Selawati (keturunan Prabu Langlangbuana). Ratu Selawati yang tadinya penganut Hindu menjadi penganut Islam setelah menikah dengan Syekh Maulana Arifin (putra dari Syekh Maulana Akbar). Syekh Maulana Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal Persia yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana. Kedatangannya ke Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam. Kedatangannya Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam ke Kuningan berarti lebih dulu daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun 1450.</p> <p>Ketika Sunan Gunung Jati sampai di Winduherang, beliau menitipkan putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra (asuh)nya.</p> <p>Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya P.S Sulendraningrat bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia dengan Suranggajaya) yaitu Ewangga. Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan (Cianjur) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan. Mana yang benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati Ewangga kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan Mataram ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta).</p> <p>Setelah dewasa, menginjak usia 17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung Jati mengangkat putranya menjadi penguasa di Kuningan pun dilakukan. Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin Kuningan dengan julukan populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon bertepatan dengan tanggal 1 September 1478, yang diperingati sebagai hari lahirnya kota Kuningan.</p> <p>Namun bila dilihat secara politis, sebenarnya sejak saat itu sebenarnya “Kerajaan” Kuningan telah jatuh. Tidak lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh atau merdeka, tetapi terikat menjadi daerah bawahan Kerajaan Cirebon. Berarti kalau kita lihat eksistensi perjalanan Kerajaan Kuningan sejak zaman Hindu dari awal kelahirannya, bernama Kerajaan Kuningan (raja: Sang Pandawa) – Kerajaan Saunggalah (raja: Demunawan/Rahangtang Kuku/Seuweukarma) merupakan kerajaan berdaulat penuh. Kemudian dibawahkan oleh Kerajaan Galuh (raja: Rhy Banga), lalu muncul lagi dijadikan pusat pemerintahan oleh putra Rakeyan Darmasiksa, yaitu Prabu Ragasuci/Sang Lumahing Taman. Selanjutnya di bawah penguasaan Sunda Padjajaran oleh Prabu Siliwangi. Lalu muncul Kerajaan Kuningan dengan sebutan Kajene zaman Prabu Langlangbuana/Langlangbumi dan diturunkan kepada Ratu Selawati (kerajaan kecil di bawah pengaruh Kerajaan Sunda Pajajaran), dan akhirnya ketika diperintah Sang Adipati Kuningan, pemerintahan kerajaan jatuh di bawah pengaruh Kerajaan Cirebon.</p></div> </div> </div></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-48082561091148769572010-05-16T12:03:00.000-07:002010-05-16T12:04:21.226-07:00Pasuketan<div style="text-align: justify;"><br /></div><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia; line-height: 24px;"><img src="http://4.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qWK8gk8EI/AAAAAAAAALM/O43sTe4IyLQ/s320/cirebon+9.jpg" style="margin: 0px 10px 10px 0px; text-align: justify; float: left; cursor: pointer; width: 216px; height: 320px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425313815906807874" border="0" /><div style="text-align: justify;">Dari arah Kasepuhan ke Pasuketan kami tempuh dengan berjalan kaki (akhirnya hujan reda juga) selama kurang lebih 15<span class="Apple-style-span" style="font-family: Georgia,serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: normal;"> </span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: Georgia,serif;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">menit. Pasuketan konon berasal dari banyaknya kuda dan tumpukan rumput (</span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">suket</span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">) di daerah situ, sehingga namanya adalah pasuketan. Bener enggaknya kami pun tak tahu. </span><span class="Apple-style-span" style="font-family: Georgia,serif;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Pasuketan ini merupakan sentra perdagangan, dulu (sekarang juga kayaknya), di simpangnya (perempatannya) kami melihat gedung tua yang kami cari, gedung BAT (</span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">British American Tobacco</span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">), di sisi yang lain juga ada gedung apa dulunya kami kurang tahu, tapi sekarang menjadi Bank Mandiri, disampingnya ada Wihara Dewi Welas Asih kemudian di sampingnya lagi ada Pelabuhan Cirebon. (ga sangka kami sudah berada hampir di ujung utara pulau Jawa neh, karena pasti Pelabuhan Cirebon adalah sarana ngetemnya kapal dari Laut Jawa sana). Seperti halnya karakter kota pelabuhan pada umumnya, seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Pembangunan dan sentra perdagangan pada umumnya pernah tumbuh pesat dan berkembang di area ini. Kota tua di Jakarta dan Kota Lama di Semarang juga termasuk kawaan yang dekat pelabuhan. Wisata Kota Lama yang sedang di rekonstruksi di Surabaya juga berada di sekitar pelabuhan, jadi tepatlah kiranya, kalau kami hendak berburu sisa sejarah di sini.</span></span></span></span></span></div></span><img src="http://2.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qWC2eWgbI/AAAAAAAAALE/PuUSCDzGC5c/s320/cirebon+10.jpg" style="margin: 0px 0px 10px 10px; text-align: justify; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 270px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425313676847907250" border="0" /><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Georgia,serif;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Georgia,serif;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Kami sampai di simpang Pasuketan ini kurang lebih pukul 14.45 dan langsung jeprat-jepret. Kami kurang tahu sejarah gedung BAT ini, jadi maap-maap tidak ada laporan yang berarti dari kami tentang gedung BAT. Yang kami tahu, bahwa gedung ini adalah pabrik rokok putih yang terkemuka di dunia. Gedung BAT ini didirikan tahun 1924 dengan diarsiteki Biro Arsitek </span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Hulswit Fermond Ed Cuypers </span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">dengan gaya </span></span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">art deco</span></span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"> (apaan si art deco ini). Gedung sekaligus parbrik rokok ini mulai beroperasi tahun 1924.</span></span></span></span></span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="line-height: 115%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Ada kesan kagum melihat gedung BAT ini. Jauh dari bayangan kami akan gedung tua yang kotor, rapuh dan tak terawat. Gedung ini justru sebaliknya. Gedung yang didominasi warna putih dan sedikit warna krem pada bagian bawahnya ini sangat rapi. Jika alasannya adalah karena gedung ini masih digunakan, akan sangat banyak sekali contoh gedung tua yang walaupun masih digunakan tapi tidak sebersih dan serapi BAT ini. Lihat saja bangunan gedung pabrik gula-pabrik gula yang masih beroprasi sampai saat ini. Kebanyakan dari mereka adalah gedung tua, dan masih digunakan, tapi tetap saja, jorok. Salut banget deh buat pengelola gedungnya. Misalnya semua gedung tua bisa sebersih itu, makin cantiklah wisata kota tua/ atau kota lama itu.</span></span></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="line-height: 115%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: georgia;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">di posting dari http://anyerpanarukan.blogsport.com<br /></span></span></span></p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-26207514412300817392010-05-16T12:01:00.000-07:002010-05-16T12:02:33.450-07:00Bank Indonesia Cirebon<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Berputar-putar di simpang Pasuketan ini, ke Pelabuhan, wihara Dewi Welas Asih, Bank Mandiri hanya untuk mencari tulisan jalan bernama Yos Sudarso. Fiuh, ga ada tuh, kami tidak tahan untuk tidak bertanya. Dan orang yang kami pilih adalah bapak berseragam dari Satuan Polisi Pamong Praja yang kantornya tidak jauh dari Simpang Pasuketan ini. Apakah yang kami tanya? Langsung pada sasasaran, Gedung Bank Indonesia. Gedung Bank Indonesia ini merupakan salah satu icon wajib dalam perjalanan ala MPK. Gedung ini pada umumnya memiliki arsitek yang keren dan tentu sangat terawat (sejauh yang kami tahu kecuali Surabaya). Setelah bertanya, kamipun diberikan arahan yang sangat gamblang. (bapak ini adalah orang ramah ketiga yang kami jumpai, setelah akang di Kanoman, bapak di Kasepuhan dan sekarang bapak di Satpol PP). Rutenya, dari depan BAT, seberang Bank Mandiri lurus aja sampai ada pertigaan pertama belok kiri, kemudian lurus lagi ada pertigaan belok kiri lagi. Tepat di sebrangnya adalah Bank Indonesia. Terima kasih pak.</p> <img src="http://3.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qW9SJhf2I/AAAAAAAAALU/rQfduRiwPag/s320/cirebon+11.jpg" style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 315px; height: 320px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425314680709152610" border="0" /><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Gedung Bank Indonesia ini memiliki perbedaan dengan gedung Bank Indonesia lainnya. Gedung ini dari awal dibangunnya memang merupakan sebuah bank, dulu adalah kantor <i style="">De Javasche Bank </i>(DJB) Cabang Cirebon yang dibuka pada 31 Juli 1866 dan baru beroperasi tanggal 6 Agustus 1866 dengan nama <i style="">Agentschap van De Javasche Bank te Cheribon</i>. Pembukaan kantor cabang ini berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 63 tanggal 31 Juli 1866. Kantor ini merupakan kantor cabang kelima setelah Semarang, Surabaya, Padang dan Makassar. Peletakan batu pertama pembangunan gedung ini dilakukan pada tanggal 21 September 1919 oleh Jan Marianus Gerritzen. Arsitek bangunan ini sama dengan arsitek gedung BAT yang dibangun tahun 1924. Gedung ini selesai dibangun dan digunakan tanggal 22 Maret 1921. Dari catatan sejarah, gedung ini dari awal hingga sekarang yang menjadi gedung Bank Indonesia tetap pada lokasi tersebut dan merupakan satu-satunya gedung kantor Bank Indonesia yang hanya mempunyai satu kubah, sehingga kesannya lebih ramping. Di Yogya ada 2 kubah memanjang (kami juga mengambil gambarnya pada uploadan yang lalu).</p><img src="http://3.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qXDoagPZI/AAAAAAAAALc/-ZLgZ7AoIZs/s320/cirebon+12.jpg" style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 227px; height: 320px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425314789765168530" border="0" /><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Selesai dengan gedung BI, kami sempat berdiskusi dan membuka kembali rute perjalanan kami. Terus terang kami <i style="">blank</i> sampai di sini. Kemana dulu yang lebih dekat. Sambil berjalan kami bertanya kembali ke bapak berseragam, kali ini korban kami adalah petugas keamanan dari sebuah kantor apa yang kami lupa lagi untuk kali kesekian (amnesia bukan? Dikit-dikit lupa…^^). Apakah kami menjadi orang beruntung yang mendapatkan keramahan Cirebon? Yak ternyata kami termasuk orang yang beruntung itu. Kami memberikan alternatif, apakah ke kantor Balai Kota ataukah Masjid Panjunan yang lebih dekat? Kemudian bapaknya memberikan gambaran plus rute angkotnya. Angkot? Terima kasih, kami memilih jalan kaki saja. Saran dari bapak itu adalah Panjunan terlebih dahulu, dan dari Panjunan lebih dekat ke Balai Kota di Siliwangi. Rutenya, kembali ke Pasuketan, nglewati BAT lagi trus kalau ketemu Hero kita lewat belakangnya. Kemudian luruuuuus melewati tukang parfum-parfum (kampung Arab), ada gang ke kanan belok kanan, dari jalan besar kelihatan kok masjidnya. Terima kasih pak kami ikuti saran bapak.</p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">di posting dari http://anyerpanarukan.blogsport.com<br /></p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-27144645290225959652010-05-16T11:59:00.000-07:002010-05-16T12:00:43.719-07:00Alun - alun Kejaksan<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Kalo dari Panjunan ke Alun-alun Kejaksan atau Balai Kota, rutenya seperti ini, dari arah tempat kita datang tadi kan ada perempatan (lokasi masjid Panjunan tepat berada di ujung perempatan), dari perempatan itu belok kiri, trus luruuus aja sampai nemu jalan besar trus belok kanan. Dari situ luruuuus aja sampai nemu perempatan jalan RA. Kartini, di kiri jalan itulah Alun-alun Kejaksan. Jaraknya kurang lebih 1 km an. Kami mendapatkan rute ini setelah bertanya bapak-bapak keturunan Arab yang sedang menikmati udara sore. Diakhir pembicaraan, bapak tersebut mengucapkan sesuatu yang membuat kami terharu, “ga mampir dulu de”, dan kami menjawab, “terima kasih pak, kami sedang berburu dengan waktu” dan bapak itupun tersenyum dengan sangat manis…^^</p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Apa yang kawan-kawan ketahui tentang Alun-alun Kejaksan, tempat bermain base ball sekelompok pelajar? Tempat latihan paskibra? Atau apa? Jujur kami tidak tau apa sebenarnya tentang Alun-alun ini sampai kami membaca sebuah tulisan di Pikiran Rakyat, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik ini sebenarnya untuk kali pertama tidak di Jakarta, tapi di Cirebon. Bagaimana kisahnya berikut ringkasannya (kami kutip dari Pikiran Rakyat, pikiran-rakyat.com).</p><img src="http://1.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qYYLmUVyI/AAAAAAAAAL0/At6HWq5EBbw/s320/cirebon+15.jpg" style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 228px; height: 320px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425316242318972706" border="0" /> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Tangal 14 Agustus 1945 pagi, di ruang bawah tanah, Sutan Syahrir dan sejumlah kawan mendengar siaran radio <i style="">British Broadcasting</i> (BBC) yang inti beritanya, Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada sekutu akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Penyerahan akan dilakukan 15 Agustus 1945. Mendengar rencana tersebut, Sutan Syahrir bersama pemuda revolusioner lainnya seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik langsung menggelar rapat tertutup. Hasil rapat dikirimkan melalui radiogram kepada rekan-rekan seperjuangan terutama para pimpinan PARAS (Partai Rakyat Sosialis) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) atau PNI Pendidikan di Cirebon. Radiogram tersebut berisi agar para aktivis partai berhaluan sosial-demokrat tersebut diminta untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, tepat ketika Kaisar Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945, beberapa jam kemudian, di Alun-alun Kejaksan ini, sedikitnya 150 pemuda membacakan teks proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Indonesia. (loh bukannya teks proklamasi menurut sejarah yang kita pegang selama ini menyatakan bahwa teks proklamasi masih diperdebatkan di Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945 malam? Mana yang bener neh?, sabar, ikuti terus jalan ceritanya…^^)</p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Proklamasi di Cirebon dibacakan oleh dr. Soedarsono, Kepala Rumah Sakit Kesambi, sekarang menjadi Rumah Sakit Gunung Jati (ayah Prof. Dr. Juwono Soedarsono, menteri Pertahanan sekarang). Soedarsono adalah kader PNI binaan Syahrir yang menerima perintah langsung dari Jakarta. Naskah tersebut berbeda dengan yang dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, naskah ini cukup panjang, mencapai tiga ratus kata (bandingkan dengan teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang tidak lebih dari 25 kata). Ada dua versi mengenai naskah proklamasi yang dibacakan Soedarsono, versi pertama, naskah tersebut disusun oleh Syahrir dan kawan-kawan seperjuangan di Jakarta lalu dikirimkan melalui telegram kepada Soedarsono. Versi kedua, teks tersebut disusun sendiri oleh Soedarsono disesuaikan dengan arahan Syahrir dari Jakarta. Soedarsono berani memprokamirkan kemerdekaan Indonesia karena mengira Syahrir dan kawan-kawan berhasil meyakinkan Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia (pada waktu itu Syahrir skeptis terhadap sikap Soekarno-Hatta setelah Jepang menyerah, ada kecenderungan Soekarno menunggu keputusan Jepang atas nasib Indonesia).</p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Proklamasi di Cirebon ini kurang mendapat apresiasi masyarakat secara luas, bahkan di Cirebon sendiri. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan adanya friksi ideologis di kalangan pemuda dan pejuang kemerdekaan sendiri. Soedarsono merupakan aktivis dalam Koperasi Rakyat Indonesia (KRI) yang berafiliasi dengan PNI Pendidikan pimpinan Hatta-Syahrir, di sisi lain, di Cirebon juga terdapat kelompok besar yang berafiliasi dengan PNI Partindo pimpinan Soekarno-Sartono. Terdapat juga kelompok besar bernama Barisan Pelopor yang dipimpin Sastrosuwirjo, barisan ini merupakan organ sayap Jawa Hokokai pimpinan Soekarno yang setelah kemerdekaan lebih dikenal dengan nama “Barisan Benteng”.</p><img src="http://1.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qYea1H6TI/AAAAAAAAAL8/A6Jd_jP58qY/s320/cirebon+16.jpg" style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 270px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425316349486819634" border="0" /><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Nah, demikianlah kawan sedikit cerita tentang Alun-alun Kejaksan ini. Di seberang alun-alun ini terdapat masjid Jami’ Cirebon. Seperti halnya karakter alun-alun pada umumnya, alun-alun Kejaksan juga dilengkapi dengan masjid serta pemerintahan. Di Jl. Kartini terdapat bangunan yang klo tidak salah adalah kediaman Walikota atau apa ya itu, tidak ada papan penunjuknya si…yang jelas, dari keberadaan pasukan Pamong Prajanya , jelas bangunan tersebut bukan bangunan sembarangan. Paling tidak itu adalah gedung penting bagi Cirebon, awalnya kami mengira itu adalah Kantor Walikota (Balai Kota) tapi melihat bentuknya, kayaknya bukan karena tidak sesuai dengan bentuk Balai Kota yang kami ketahui.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Kami nyampe di Alun-alun ini sekitar pukul 16.00, kami nampaknya sudah tidak memungkinkan untuk ke Gua Sunyaragi karena pukul 17.00 paling lambat, kami sudah harus dalam bus yang mengangkut kami ke Bandung. Kami memperkirakan akan terjadi kemacetan di jalur Sumedang karena besok adalah hari libur, sehingga perjalanan yang sebetulnya 4 jam (seperti pada saat berangkat) bisa jadi lebih panjang. Oleh karena itu kalau kita ambil pukul 17.00 setidaknya pukul 22.00 kami sudah tiba di Bandung lagi. Baiklah, kita selesaikan dua bangunan di Jl. Siliwangi ini, Balai Kota dan Stasiun Kejaksan.</p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">di posting dari http://anyerpanarukan.blogsport.com<br /></p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-4148915504559454052010-05-16T11:55:00.000-07:002010-05-16T11:57:17.174-07:00Masjid Merah Panjunan<div style="text-align: justify;"><br /></div><span class="Apple-style-span" style="line-height: 24px;"><img src="http://1.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qXlTLbz3I/AAAAAAAAALk/I8cnzBcQQMQ/s320/cirebon+13.jpg" style="margin: 0px 10px 10px 0px; text-align: justify; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 270px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425315368180371314" border="0" /><div style="text-align: justify;">Kamipun berjalan sampai di ujuang BAT, untuk memastikan dan mengetes keramahan Cirebon kami cari korban kelima, dan hasilnya…. membuat kami tersenyum, “Panjunan ke arah mana ya pak?”, dan begini jawabnya. “gini, adek tau Hero? Lurus aja lewat belakangnya, trus luruuus aja, ada tulisannya PANJUNAN kok. Jika ade nyium bau wangi, berati ade berada di jalan yang benar”.<span style=""> </span>Ternyata Cirebon tidak seperti yang dibayangkan, mungkin hanya angkutan dan tukang becaknya saja yang agresif terhadap penumpang, sisanya enggak kok, sangat ramah. Lima dari lima orang yang kami tanya semuanya ramah.</div></span><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Hero, ini masih menjadi tanda tanya bagi kami, yang mana si Hero, yang kami tahu adalah Ramayana. Atau jangan-jangan Hero itu bagian dari Ramayana, tapi kami cari tulisan Hero masih belum ketemu, akhirnya kami ambil kesimpulan, dulu Ramayana itu adalah Hero. Selesai sudah (kalau salah, kawan-kawan bisa kasi komen yak), yang jelas kami sudah berada di jalan yang benar karena tercium bau parfum yang wangiiiii sekali, sangat kontras dengan bau badan kami…hihi…^^. Di tengah jalan ada pesan singkat dari Kang Agung (sang penunjuk jalan kami) menanyakan tentang kondisi kami, kalau kami jawab lapar dibawain makanan gak ya kira-kira…? Hehe peace kang Agung, <i style="">thanks</i> atas keramahan kotanya. Berjalan kurang lebih 500m lebih dikit, kami tengok ke kanan dan melihat sesosok pagar bata berwarna merah seperti bangunan candi. Inilah dia si cantik Masjid Merah Panjunan.</p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Nama Panjunan terletak di kampung Panjunan, kampung pembuat Jun atau keramik porselen. Kampung ini didirikan oleh Pangeran Panjunan (salah satu murid Sunan Gunung Jati). Nama asli dari Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman, pemimpin kelompok pendatang Arab dari Baghdad. Sang Pangeran dan keluarga mencari nafkah dari membuat keramik porselen. Begitu juga anak keturunan mereka sampai sekarang tetap membuat keramik porselen, sehingga tempat itu kemudian diberi nama Panjunan, pembuat Jun.</p><img src="http://3.bp.blogspot.com/_JSV5asvI7i0/S0qXtDyiiXI/AAAAAAAAALs/zmxmDq9rZR8/s320/cirebon+14.jpg" style="margin: 0px 0px 10px 10px; text-align: justify; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 270px;" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5425315501488376178" border="0" /><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, didirikan oleh Pangeran Panjunan tahun 1453, lebih tua dari Masjid Demak (1477), Masjid Menara Kudus (1530) dan Masjid Sang Cipta Rasa (1489). Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok dan tak lazim sebagai bangunan masjid, batu bata sangat lumrah dipakai untuk membuat candi. Awalnya masjid ini bernama Al-Athyang yang artinya dikasihi, namun karena pagarnya yang terbuat dari bata merah menjadikan masjid ini lebih terkenal dengan sebutan, Masjid Merah Panjunan. Awalnya masjid ini merupakan Tajug atau Mushola sederhana, karena lingkungan tersebut adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa, Pangeran Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut menjadi masjid dengan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha. Selain faktor agama tersebut, arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">Saat kami tiba di masjid ini bertepatan dengan waktu Sholat Ashar, sehingga akan sangat tampak aneh kalo tukang jepret kami jungkir balik nyari posisi foto yang pas, jadinya hasil jepretannya segitu-gitu aja (alasan, amatir bilang aja amatir, pake alasan segala…^^). Kami tidak jadi masuk ke dalam masjid mengingat ibadah sedang berlangsung, takut dikira maling sandal nanti kalau masuk sebentar trus keluar lagi…^^ akhirnya, kami Cuma mendapatkan bagian luarnya saja. Pengen nungguin sepi, tempat lain sudah menunggu kami. Akhirnya untuk sementara kami sudahilah perjalanan ini.<br /></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; line-height: 150%;">di posting dari http://anyerpanarukan.blogsport.com<br /></p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-13828365940386246502010-05-16T11:50:00.000-07:002010-05-16T11:51:15.514-07:00kesultanan Cirebon<div style="text-align: justify;" class="entry"> <div class="snap_preview"> <p>KESULTANAN Cirebon merupakan kesultanan di pantai utara Jawa Barat dan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Cirebon pada saat sekarang merupakan nama satu wilayah administrasi, ibu kota, dan kota. Nama Cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang meliputi kabupaten-kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.</p> <p>Sumber-sumber naskah tentang Cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta. Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires -mengunjungi Cirebon pada tahun 1513-yang berjudul Suma Oriental.</p> <p>Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-18) menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari kata <em>ci</em> dan <em>rebon</em> (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata <em>cirebon</em> adalah perkembangan kata <em>caruban</em> yang berasal dari istilah <em>sarumban</em> yang berarti pusat percampuran penduduk.</p> <p>Di Pasambangan terdapat sebuah pesantren yang bernama Gunung Jati yang dipimpin oleh Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati). Di pesantren inilah Pangeran Walangsungsang (putra raja Pajajaran, Prabu Siliwangi) dan adiknya, Nyai Rara Santang, pertama kali mendapat pendidikan agama Islam.</p> <p>Pada awal abad ke-16, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walangsungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Ia bergelar Cakrabumi. Setelah cukup kuat, Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dan bergelar Cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, Walangsungsang dan Nyai Rara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah ia memindahkan pusat kerajaannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian didirikan keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.</p> <p>Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Cirebon adalah Walangsungsang, namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo). Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.</p> <p>Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan Pajajaran yang belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di Jawa Barat.</p> <p>Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Negarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahannya, Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kendati demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam suasana perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram , Panembahan Senapati, membantu para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja Cirebon sebagai keturunan orang suci karena Cirebon lebih dahulu menerima Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian pulau Jawa.</p> <p>Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada masa Pnembahan Girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta, mendapat tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang merupakan sumber tenaga).</p> <p>Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan menjadi proteksi VOC. Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal dunia (1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh. Dalam Perjanjian Kertasura 1705 antara Mataram dan VOC disebutkan bahwa Cirebon berada di bawah pengawasan langsung VOC.</p> <p>Walaupun demikian kemunduran politik itu ternyata sama sekali tidak mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat keagamaan di Jawa Barat. Peranan historis keagamaan yang dijalankan Sunan Gunung Jati tak pernah hilang dalam kenangan masyarakat. Pendidikan keagamaan di Cirebon terus berkembang. Pada abad ke-17 dan ke-18 di keraton-keraton Cirebon berkembang kegiatan-kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal ini antara lain terbukti dari kegiatan karang-mengarang <em>suluk</em>, nyanyian keagamaan Islam yang bercorak mistik. Di samping itu, pesantren-pesantren yang pada masa awal Islam berkembang di daerah pesisir pulau Jawa hanya bertahan di Cirebon; selebihnya mengalami kemunduran atau pindah ke pedalaman.</p> <p>Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi Kesultanan Cirebon. Misalnya, melaksanakan <em>Panjang Jimat</em> (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.*** (<span style="color: rgb(128, 0, 0);">Dewan Redaksi, <em>Ensiklopedi Islam,</em> Jilid I, Cet-11, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003. hal. 272-274.</span>)</p></div></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-2270274436442220992010-05-16T11:48:00.000-07:002010-05-16T11:49:25.687-07:00Cirebon Merdeka Lebih Dulu<div style="text-align: justify;" class="news-abstract">Begitu Jepang kalah perang, Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia dikumandangkan secepatnya. Proklamasi Cirebon dibacakan lebih cepat.</div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tak banyak warga Cirebon tahu dua tugu tersebut merupakan saksi sejarah. Di tugu itu, pada 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi. ”Hanya para sesepuh yang mengingat itu sebagai tugu peringatan proklamasi 15 Agustus,” tutur Mondy Sukerman, salah satu warga Cirebon yang aktif dalam Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia. Kakek Mondy, Sukanda, aktivis Partai Sosialis Indonesia, hadir saat proklamasi ini dibacakan di kota udang itu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun Kejaksan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Cirebon memang merupakan salah satu basis PNI Pendidikan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setelah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangani teks proklamasi sebelum 15 Agustus 1945. Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ada dua versi asal-usul penyusunan teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Informasi diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di Desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, saat mengungsikan keluarganya selang satu hari sebelum teks dibacakan di Cirebon. Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks proklamasi dari Sjahrir.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">”Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon,” ungkap Hadidjojo dalam buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan, yang pekan-pekan ini akan diterbitkan. Sayang, jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kisah berseberangan diungkap Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Penyusunan teks proklamasi ini, antara lain, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Des hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: ”Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. ”Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain,” kata Sjahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Sjahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Selain mempersiapkan proklamasi, Sjahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan ”virus” proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.</p><div style="text-align: justify;"> Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Sjahrir. Dan keinginan Sjahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon. </div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-15096710001742008592010-05-16T11:42:00.000-07:002010-05-16T11:43:23.233-07:00Bendera Macan Ali<p style="text-align: justify;"><img class="alignnone size-full wp-image-49" src="http://mutiaratintaku.dagdigdug.com/files/2009/10/cam5s74b.jpg" alt="cam5s74b" width="171" height="270" /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bendera (Umbul – umbul) ini tersimpan di Museum Textile Jakarta</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"> </p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"> </p><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti bentuk piktogram stilasi dari “Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan Kaca seniman Cirebon, tulisan arabnya berbunyi: “thoyibah laa ila ha illallah”.<br />Hubungannya dengan Sayidina Ali, berdasarkan cerita ringkasnya karena Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) keturunan ke 17 dari Sayidina Ali, ke 18 dari Rasulullah, karena di depan namanya memakai Sayid Syarif, nasab dari Husein.<br />Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi macan. Keratonmemberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda. Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja.<br />Tandanya Cirebon bahaya adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gn.Jati yang berlapis emas raib…terbang… atau bergoncang. Pasukan ini berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja.<br />Menurut cerita lain kalau bulan Mulud suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati). Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda, menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang.<br />Tiap anggota punya nama dan pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng…..”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Cerita yang lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama Singha Barwang Djalalullah (kalau tidak salah ucap), yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Dari seorang kenalan banyak didapat informasi perihal pelacakan ini, termasuk ke sumber informasi yang secara moril masih berstatus sebagai seorang Adipati Kraton. Awalnya sumber yang tinggal di daerah utara Cirebon tersebut enggan mengutarakan, namun setelah mengenal lebih dalam mengenai pribadi tentang diri dan keluarga barulah beliau mau mengutarakan lebih lanjut.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5 atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pakaian yang bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian harus hening dan sedikit penerangan. Tapi sayang tidak bisa didokumentasikan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.<br />Sejarah adanya pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12 orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan, metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4 orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati. Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah karena memang masih ada hubungan trah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dari semua pembicaraan, ternyata yang paling mengesankan adalah tentang beladiri yang dipakai Pasukan Khusus itu, yaitu Gerak Gulung Pajajaran. Ketika dikonfirmasi mengenai kesamaannya dengan Gerak Gulung Budi Daya yang di Bogor, beliau mengatakan memang masih satu rumpun.</p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-18484233608580321902010-05-16T11:35:00.000-07:002010-05-16T11:38:33.256-07:00MAKANAN KHAS CIREBON<div style="text-align: justify;" class="post-header"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="entry"> <div class="snap_preview"><p><strong><span style="color:red;">1. Nasi Jamblang:</span></strong></p> <p style="text-align: justify;"><img style="width: 226px; height: 157px;" src="http://agoenk70.net/wp-content/uploads/2008/01/nasi-jamblang.jpg" alt="nasi jamblang" /></p> <p>Nasi khas Cirebon ini disajikan didalam daun jati dengan lauk pauk bermacam-macam, seperti paru, daging, tempe, tahu, cumi, dll serta sambal khas cirebon. Dapat diproleh di seluruh kota Cirebon. Para pedagangnya sangat khas sebab menggunakan meja rendah yang menggelar berbagai macam makanan dan dikelilingi oleh bangku panjang untuk duduk pembeli.<br />Cara penyajiannya, si penjual menyodorkan nasi yang dibungkus daun jati kemudian pembeli mengambil sendiri lauk pauk yang ingin dimakannya. Pembayarannya pun unik, sebab mengandalkan kejujuran para pembelinya karena pembeli menyebutkan apa saja yang dimakannya.<br />Para penjual nasi jamblang cukup tersebar di kota Cirebon selain itu mereka buka 24 jam. Kawasan Gunung Sari merupakan daerah yang cukup banyak populasi penjual nasi Jamblang ini. Penjual Nasi Jamblang yang terkenal di Cirebon adalah Nasi Jamblang Mang Dul yang berlokasi di Gunung Sari (dekat lampu merah ke arah jalan Tuparev).</p><p><br /></p> <p><strong><span style="color:red;">2. Empal Gentong:</span></strong></p> <p><img src="http://agoenk70.net/wp-content/uploads/2008/01/empal_gentong.jpg" alt="empal gentong" /></p> <p><strong></strong><br />Makanan mirip soto yang berkuah kental dan bersantan serta dipenuhi dengan daging ini sungguh lezat…. Biasa dimakan dengan nasi ataupun lontong. Yang khas adalah wadah tempat menaruh kuah empal ini yang berada di sebuah gentong makanya dinamakan empal gentong sementara empal adalah potongan-potongan daging.<br />Cara masaknya pun masih tradisional karena masih mengandalkan kayu bakar. Sambal empal gentong ini sangatlah pedas sebab merupakan saripati cabai merah kering yang dikemudian ditumbuk. Bagi yang belum terbiasa, agar hati-hati mencobanya sebab bila perut tidak kuat maka acara makan-makan bisa terhambat <img class="wp-smiley" title=":-)" src="http://agoenk70.net/smilies/yahoo_smiley.gif" alt=":-)" width="18" height="18" />.<br />Mencari pedagang empal gentong sekarang agak susah karena mereka biasanya menggunakan gerobak untuk mendorong jualan mereka. Pedagang empal gentong yang ngetop di Cirebon adalah Mang Darma yang mangkal di Jl. Slamet Riyadi, empal gentong Mang Darma juga bisa di temukan di beberapa tempat di Cirebon seperti di Pujagalana, Stasiun Kereta Cirebon atau di Grage Mal yang semuanya dikelola anak-anaknya. Di Jakarta, Empal gentong Mang Darma bisa ditemukan di daerah Bintaro.</p><p><br /><strong></strong></p> <p><strong><span style="color:red;">3. Tahu Gejrot:</span></strong></p> <p><img style="width: 277px; height: 162px;" src="http://agoenk70.net/wp-content/uploads/2008/01/tahu-gejrot.jpg" alt="tahu gejrot" /></p> <p>Makanan berupa tahu yang di potong kecil-kecil ditaruh di atas piring kecil terbuat dari tanah liat kemudian disajikan dengan bumbu gula merah, cabai serta bawang merah dan bawang putih yang diulek. Jenis tahu yang digunakan adalah semacam tahu Sumedang tapi agak berbeda sebab isinya jauh lebih sedikit sehingga terlihat kosong. Cara makannya pun unik yaitu ditusuk dengan biting (potongan lidi). Mengapa diberi nama tahu gejrot? Sebab bumbu cair yang digunakan sebagai penyedap dialirkan lewat botol dengan cara diguncangkan sehingga timbul bunyi “gejrot” berulang kali.<br />Para pedagang tahu gejrot ini biasanya menggunakan pikulan bagi penjual laki-laki untuk membawa barang dagangannya. Atau menggunakan tampah yang diusung di atas kepala bagi penjual wanita.<br />Para pedagang tahu gejrot sangat mudah ditemui di sekitar kota Cirebon karena termasuk makanan ringan yang cukup populer.</p><p><br /><strong></strong></p> <p><strong><span style="color:red;">4. Docang:</span></strong></p> <p><img style="width: 163px; height: 102px;" src="http://agoenk70.net/wp-content/uploads/2008/01/images2.jpg" alt="docang" /></p> <p>Lontong yang dipadukan dengan daun singkong, tauge, taburan kelapa parut dan kerupuk dimakan dengan kuah yang terbuat dari bumbu oncom atau dage’ untuk sebutan orang Cirebon. Makanan ini merupakan versi lain dari keluarga lontong sayur tetapi bumbu kuah oncom yang digunakan memberikan rasa tersendiri<br />Mencari makanan docang ini agak mudah ditemui di daerah pemukiman atau di pasar karena cukup sederhana pembuatannya.</p><p><br /><strong></strong></p> <p><strong><span style="color:red;">5. Nasi Lengko:</span></strong></p> <p><img style="width: 187px; height: 103px;" src="http://agoenk70.net/wp-content/uploads/2008/01/images.jpg" alt="nasi lengko" /></p> <p>Nasi Lengko merupakan nasi yang cukup mudah dibuat siapa saja sebab terdiri dari bahan makanan yang sederhana seperti nasi putih, tahu, tempe, mentimun tauge, dan daun kucai (seledri). Kemudian ditaburi bawang goreng serta disiram bumbu kacang dan kecap. Lebih enak lagi dimakan ditemani krupuk.<br />Pedagang Nasi Lengko cukup tersebar di sekeliling kota Cirebon sebab makan ini selain sederhana juga terjangkau bagi masyarakat. Penjual Nasi Lengko yang lumayan laris dan ramai pembeli salah satunya adalah di Jl. Pagongan. Warung milik H. Barno ini sudah 11 tahun berdiri dan buka setiap hari sejak pukul 6 pagi hingga 9 malam.</p><p><br /><strong></strong></p> <p><strong><span style="color:red;">6. Mie Koclok:</span></strong></p> <p><img src="http://agoenk70.net/wp-content/uploads/2008/01/mie-koclok.jpg" alt="mie koclok" /></p> <p>Mie kuning yang disajikan dengan toge, kol, suwiran daging ayam, telor lalu disiram dengan kuah santan. Disajikan panas-panas sebab tidak enak jika dimakan kala dingin. Selain di jalan Lawanggada dekat rel kereta, penjual mie koclok yang tidak kalah nikmat berlokasi di Kasepuhan, yang tidak jauh dari alun-alunnya.</p> </div> </div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-8228581382483001972010-05-16T11:15:00.001-07:002010-05-16T11:15:51.775-07:00Mengenang Sejarah Cirebon Lewat Malam 1 Suro<div id="rotating"> <img src="http://www.lukisankaca.com/wp-content/themes/primeprez/rotating.php?image=78" alt="Lukisan Kaca" title="Lukisan Kaca" width="920" /> </div> <h5 style="font-weight: normal; text-align: justify;"> <p><span id="advenueINTEXT" name="advenueINTEXT"><strong>CIREBON</strong> – Tahun baru Islam 1 Muharam 1431 H bagi Keraton Kanoman adalah hari yang bermakna. Keraton Kanoman pun menggelar pembacaan Babad Cirebon (Sejarah Cirebon) lengkap dengan serangkaian prosesinya untuk memperingati malam satu suro.</span></p> <p>Peringatan malam 1 suro yang digelar keluarga dan kerabat Keraton Kanoman, Jumat malam, 18 Desember kemarin dimulai dengan ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Desa <yoono-highlight onmouseout="___yoonoLink.onYoonoOut(this)" onmouseover="___yoonoLink.onYoonoOver(event,this)" onclick="___yoonoLink.onYoonoClick(this)" keywords="Astana" class="yoono-link-hover yoono-link-active-link">Astana</yoono-highlight>, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.</p> <p>Serasa kembali ke masa kerajaan dulu, dengan menaiki replika kereta Paksi Nagaliman (kereta yang kerap di gunakan Sunan Gunung Jati pada masa kejayaannya), Pangeran Raja <yoono-highlight onmouseout="___yoonoLink.onYoonoOut(this)" onmouseover="___yoonoLink.onYoonoOver(event,this)" onclick="___yoonoLink.onYoonoClick(this)" keywords="Muhammad" class="yoono-link-hover yoono-link-active-link">Muhammad</yoono-highlight> Emiruddin, diiringi para kerabat, keluarga, serta para abdi keraton yang mengawal dengan berjalan kaki mengarak kereta ke area pemakanan Sunan Gunung Jati.</p> <p>”Tahun-tahun sebelumnya, memang tidak ada kegiatan ziarah kemakam Gunung Jati. Namun, pada tahun ini, kami mencoba mengembalikan tradisi yang pernah dilakukan pada leluhur kami,”papar juru bicara keraton Kanoman, Ratu Arimbi saat ditemui disela kegiatan.</p> <p>Menurut Arimbi, ziarah dimaksudkan untuk doa bersama agar seluruh penerus keluarga Keraton di berikan keselamatan pada tahun mendatang. Tak lupa, dalam prosesi ini juga turut mendoakan keselamatan negara dari berbagai bencana dan cobaan.</p> <p>Sebelum berziarah, Keraton menggelar pembacaan Babad Cirebon. Prosesi ini dilakukan Pangeran Kumisi atau seorang pejabat berpangkat satu tingkat dibawah Patih didampingi tujuh orang Panca Pitu (abdi dalem keraton yang selalu mengiringi setiap ritual) serta tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan.</p> <p>Beberapa tahun lalu, pembacaan Babad Cirebon kerap di gelar di Bangsal Witana yang berada di bagian belakang keraton. Konon, bangsal ini merupakan bangunan pertama yang berdiri di Cirebon. Namun, lima tahun ini pembacaan babad Cirebon di gelar di bagian tengah keraton yakni di Bangsal Made Mastaka yang dulu dijadikan sebagai singasana raja.</p> <p>”Pembacaan babad Cirebon dialihkan ke Bangsal Made Mastaka sekitar 4 tahun lalu. Ini dilakukan setelah pemerintah kota Cirebon mengikuti kegiatan ini yang bertepatan dengan ulang tahun kota Cirebon,”papar Arimbi.</p> <p>Prosesi pembacaan Babad Cirebon, terasa sakral saat pangeran kumisi memasuki Bangsal Made Mastaka. Dengan didampingi tujuh orang Panca Pitu dan tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan, yang membawa empat lilin besar sebagai penerang prosesi pembacaan.</p> <p>Prosesi ini pun dihadiri seluruh Muspida Kota Cirebon, serta para tamu undangan, dan ratusan masyarakat Cirebon yang sengaja ingin menyaksikan prosesi pembacaab Babad.</p> <p>Babad Cirebon dikutip dari kitab Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Wangsa Kerta pada tahun 1669. Kitab berbahasa Cirebon kuno ini, menceritakan tentang asal-usul Cirebon dan kisah pendiri Keraton Kanoman dan sedikit menyinggung keberadaan Keraton Kasepuhan, Kacirebon dan Keprabonan.</p> <p>Pangeran Walangsungsang dan Ratu Mas Rarasantang yang merupakan putra-putri Prabu Siliwangi, bermaksud ingin mempelajari agama islam. Pengembaraan keduanya hingga masuk ke Pesisir utara pulau Jawa. Mereka menemui sejumlah ulama islam. Kisah perjalanan paman dan ibu Sunan Gunung Jati hingga membuka sebuah padepokan bernama Caruban atau Cirebon, menjadi pokok cerita dalam tradisi pembacaan babad Cirebon ini.</p> <p>Tamu undangan dan masyarakat yang menghadiri acara tersebut, tidak seluruhnya dapat masuk kedalam bangsal. Namun, pihak keraton memfasilitasi mereka dengan memasang layar lebar tepat di bagian depan keraton</p></h5>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-46384168468845058482010-05-16T11:02:00.001-07:002010-05-16T11:18:13.455-07:00Pecahnya Kasultanan Cirebon<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_VXN6msfxcNQ/S_A2qFOWw-I/AAAAAAAAAEw/3jyCQR-ARpE/s1600/rotating.php"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 529px; height: 71px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_VXN6msfxcNQ/S_A2qFOWw-I/AAAAAAAAAEw/3jyCQR-ARpE/s200/rotating.php" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5471933643839947746" border="0" /></a><div style="text-align: justify;" class="post-header"> </div><div> </div><span style="font-family:arial;"><br />Sejarah Kesultanan di Cirebon diawali dari pertumbuhan dan perkembangan kesultanan yang dibangun oleh <strong>Syarif Hidayatullah</strong> atau <strong>Sunan Gunung Jati</strong> (1478-1598). Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.</span><br /><span style="font-family:arial;">Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570-1649).</span><br /><span style="font-family:arial;">Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Ratu II (1649-1662/1667).</span><br /><span style="font-family:arial;">Gelar kepala negara Cirebon, sejak putra Panembahan Girilaya naik takhta pada tahun 1677, berubah dari gelar Panembahan menjadi Sultan sebagaimana digunakan oleh Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan ini diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya pun dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibu kota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai kekuasaan penuh; mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan keraton masing-masing. </span><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:arial;">Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan, melainkan hanya sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri sebagai kaprabonan (paguron) tempat belajar para intelektual keraton.</span><br /><span style="font-family:arial;">Pembagian Kesultanan Cirebon kepada tiga orang, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon sejak tahun 1677 merupakan babak baru terpecahnya keraton Cirebon kepada tiga orang putra Pangeran Girilaya yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.</span><br /><span style="font-family:arial;">Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai caretaker.</span><br /><span style="font-family:arial;">Suksesi para sultan pada umumnya berjalan lancar, meskipun pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803) pernah terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.</span><br /><span style="font-family:arial;">Sumber http :www.carubannagari.blogspot.com</span></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-55249383181045748912010-05-16T10:55:00.000-07:002010-05-16T10:57:01.321-07:00Sejarah Islam Indonesia Cirebon-Banten (1500-an -1812)<p class="MsoNormal" align="justify"><!--0800-->Kalangan kesultanan di <st1:city st="on">Cirebon</st1:city> meyakini, pendiri <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cirebon</st1:place></st1:city> adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.<br /><br />Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi "raja" dan "ulama" terpisah, Sunan Gunung Jati adalah "raja" sekaligus "ulama". Ia mengenalkan Islam pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda Kelapa (kini <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.<br /><br />Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bogor</st1:place></st1:city>. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. <st1:place st="on">Para</st1:place> pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cirebon</st1:place></st1:city>.<br /><br />Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.<br /><br />Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu <st1:city st="on"><st1:place st="on">Cirebon</st1:place></st1:city> terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.<br /><br />Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).<br /><br />Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan Kerajaan Gowa (<st1:place st="on">Makassar</st1:place>) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para pedagang Belanda.<br /><br />Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. <st1:place st="on">Para</st1:place> pengikutnya kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.<br /><br /><st1:place st="on">Para</st1:place> pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar habis pada 1812.<br /><br />Pada tahun 1887, setelah meledak wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan 40.000 orang dan letusan Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa, Kiai Wasid dan para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.n</p>Sumber http://infos.blog.m3-access.comAdhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-34275740715781009962010-05-16T10:53:00.000-07:002010-05-16T10:54:53.877-07:00Linggarjati Kuningan Cirebon<p style="text-align: justify;">ada satu tempat wisata di daerah Kuningan, 30 menit dari kota Cirebon. Tempat ini bernama Linggarjati. Tempat ini mudah dicapai dari kota Cirebon, ambil arah menuju Kuningan, nanti ada papan petunjuk jalan menuju tempat ini. Tempat yang dulunya adalah hotel ini, memiliki halaman yang luas. Di tempat ini pada tanggal 15 Nov 1946 terjadi peristiwa perundingan Linggarjati, yaitu dimana negara Belanda mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><img src="http://rommya.wordpress.com/files/2007/06/linggarjati1.jpg" alt="Linggarjati1" align="left" />Untuk masuk ke dalamnya tidak dipatok biaya, hanya mengisi buku tamu dan sumbangan untuk perawatan saja, Di dalamnya terdapat pemandu wisata yang menceritakan sejarah dari gedung tersebut. Tidak ada pungutan tambahan untuk itu, hanya sumbangan sukarela dari pengunjung untuk pemandu tersebut. Di dalamnya terdapat benda-benda yang masih dijaga keasliannya, seperti meja dan kursi rapat, lemari, tempat tidur dan jam besar. Memang ada beberapa furnitur yang merupakan replika dari aslinya. Di sana juga terdapat beberapa foto dan diorama yang menggambarkan suasana perundingan tempo doeloe.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Salam jalan jajan hemat.<br /><span id="more-153"></span><br /><img src="http://rommya.wordpress.com/files/2007/06/linggarjati2.jpg" alt="Linggarjati2" /> <img src="http://rommya.wordpress.com/files/2007/06/linggarjati3.jpg" alt="Linggarjati3" /><img src="http://rommya.wordpress.com/files/2007/06/linggarjati4.jpg" alt="Linggarjati4" /></p>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-5138444074811113222010-05-16T10:44:00.000-07:002011-02-10T10:05:51.647-08:00Babakan Mulya, Desa Peduli Buruh Migran<div style="text-align: justify;"> <!-- END: MAIN NAVIGATION --> <!-- BEGIN: CONTENT --> </div><div style="text-align: justify;" id="ja-pathway"> </div><div style="text-align: justify;"> <script type="text/javascript"> <!-- var link = document.createElement("link"); link.setAttribute("href", "/components/com_joomla_flash_uploader/jfu.css"); link.setAttribute("rel", "stylesheet"); link.setAttribute("type", "text/css"); var head = document.getElementsByTagName("head").item(0); head.appendChild(link); //--> </script> <script src="http://fahmina.or.id/components/com_jomcomment/script.js?1.8.9" type="text/javascript"></script> <script src="http://fahmina.or.id/index2.php?option=com_jomcomment&task=userinfo&no_html=1" type="text/javascript"></script> </div><div style="text-align: justify;" class="article-tools clearfix"><br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><img src="http://fahmina.or.id/images/stories/dsci0140.jpg" width="599" border="0" height="415" /></p><p style="text-align: justify;"> Di tengah maraknya penipuan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan korban perdagangan orang (trafiking) yang tak kunjung berhenti, desa Babakanmulya kini telah memiliki Peraturan Desa (Perdes) tentang perlindungan TKI atau buruh migran asal Desa Babakanmulya. Tepatnya pada Minggu (8/3/09), Perdes tersebut ditetapkan di Balai Desa Babakanmulya Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan. Di Jawa Barat sendiri, Desa Babakanmulya merupakan desa yang pertama kali memiliki Perdes tentang Perlindungan Buruh Migran.<br /><br />Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perudang-undangan baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja Desa Babakanmulya merupakan salah satu desa yang memiliki warga cukup peduli terhadap persoalan perempuan. Tak heran jika desa tersebut segera bergegas melindungi warganya yang sebagian besar menjadi TKI. Salah satunya melalui Peraturan Desa (Perdes).<br /><br />“Perdes itu disyahkan dalam sidang Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan diadakan secara terbuka yang dihadiri oleh ketua, beserta anggota, pemerintah desa, lembaga desa dan tokoh masyarakat. Jadi selama ini dari desa sangat mendukung adanya gagasan Perdes ini, meskipun awalnya ada sedikit perdebatan,” papar Sahudin yang akrab disapa pak Ulis.</p><p style="text-align: justify;">Sahudin juga menambahkan, Perdes tersebut bukan untuk mempersulit warga yang berniat berangkat untuk menjadi TKI, melainkan untuk membantu dan melindungi warganya. Karena diakuinya, bekerja merupakan hak azasi manusia yang wajib dihormati. Sehingga diharapkan, Perdes mampu meminimalisir dan mengantisipasi berbagai bentuk penipuan terhadap calon TKI asal Desa Babakanmulya.<br /><br />“Jadi, perlu dilakukan upaya perlindungan dengan membuat peraturan Desa Babakanmulya. Selain itu juga untuk menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dipandang perlu menetapkan Perdes tentang perlindungan TKI asal Desa Babakanmulya.”</p><p style="text-align: justify;"><strong>Melindungi dan Memberdayakan TKI</strong><br /><br />Dibuatnya Perdes perlindungan buruh migran, diakui Sahudin tidak bisa terlepas dari kegigihan sejumlah warganya yang tergabung dalam paguyuban yang membela dan melindungi buruh migran terutama TKW. Paguyuban tersebut di antaranya Paguyuban Kemuning dan Paguyuban Buruh Migran Kuningan (Bumiku). Awalnya kedua paguyuban tersebut menyatu, namun demi perkembangan organisasi, paguyuban tersebut dibagi menjadi dua agar lebih tersebar lagi ke masyarakat.<br /><br />“Apalagi kini kian banyak warga Desa Babakanmulya bekerja sebagai TKI, namun sebagian besar dari mereka sering sekali terjebak tindak penipuan ketika akan berangkat. Belum lagi TKW yang menjadi korban kekerasan dalam bekerja,” ungkap Sahudin.<br /><br />Sementara menurut ketua Paguyuban Bumiku, Titin Sahudin, terbentuknya paguyuban yang melindungi buruh migran awalnya atas masukan dan saran Castra Adji Sarosa, ketua Forum Warga Buruh Migran (FWBMI) Kabupaten Cirebon. Sehingga pada awal tahun 2005, tepatnya di bulan Februari, dibentuklah Paguyuban Kemuning. Namun dalam perkembangannya terbagi menjadi dua dengan terbentuknya Paguyuban Peduli Buruh Migran (P2BM), yang kemudian berubah nama menjadi Paguyuban Wanita Buruh Migran (PWBM) dan baru-baru ini berubah nama lagi menjadi Paguyuban Buruh Migran Kuningan (Bumiku).<br /><br />“Kesadaran untuk mendirikan paguyuban memang sebagian besar muncul dari kaum perempuan. Namun lama kelamaan, mendapatkan respon yang baik dari kaum lelaki termasuk pemerintah desa sendiri kian mendukung kegiatan kami,” papar Titin Sahudin. Sampai saat ini, anggota paguyuban dari TKI dan mantan TKI semakin bertambah. Apalagi telah berkembang dengan mendirikan koperasi dan perpustakaan.<br /><br />“Koperasi kami sampai saat ini terus berjalan, meskipun jumlahnya tidak seberapa, tapi bagi warga yang tidak mampu dan membutuhkan modal, pinjaman koperasi sangat berarti,” ujarnya.<br /><br />Titin juga mengaku masih sering berkoordinasi dengan Castra yang selama ini mendukung terbentuknya paguyuban. “Terutama jika kami mendapatkan persoalan atau ada kasus yang cukup berat untuk diselesaikan. Karena kami mengerti bahwa pak Castra memiliki pengalaman lebih dalam menangani kasus.”<br /><br />Untuk memperdalam pengetahuan anggota paguyuban dalam penanganan kasus, Paguyuban Bumiku membekali pengurusnya dengan menggelar pelatihan-pelatihan. Sedangkan untuk meyakinkan masyarakat, Paguyuban Bumiku menggelar sosialisasi melalui workshop, lomba-lomba, pertemuan-pertemuan, dan talkshow di radio Warabumi dan radio komunitas Baina FM.</p><div style="text-align: justify;">“Yang semakin terlihat, salah satu upaya kami mendorong Pemdes untuk mengesahkan peraturan perlindungan tenaga kerja. Karena kita berinisiaif agar warga mendapatkan perlindungan hukum. Sedangkan koperasi untuk meningkatkan kegiatan dan ekonomi pengurus dan anggota buruh migran,” tegasnya.<br /><br />Kini jumlah TKI yang terdaftar sebagai anggota paguyuban mencapai 113 orang. Sedangkan pengurus koperasi yang aktif, kini mencapai 27 TKI dan sejumlah anggota dari Rumah Baca Lestari. Sedangkan modalnya, Titin mengaku berasal dari iuran, berupa simpanan sukarela.<br /><br />“Sekarang ada respon baik dari masyarakat dan dianggap baik oleh masyarakat. Mereka juga memiliki inisiaif untuk mengadakan sosialisasi. Dulu pernah ada warga yang menganggap kami sebagai perekrut tenaga kerja. Tapi setelah kami jelaskan, mereka mulai memahami bahwa kami tidak sebagai perekrut tenaga kerja. Insyaallah Perdes ini juga aspiratif, karena sebelumnya kami diskusikan dengan warga.”<br /><br />di posting dari .. http://fahmina.or.id<br /></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-4658188423999965322010-05-16T10:38:00.000-07:002010-05-16T10:41:03.477-07:00Bertahan di Tengah Desakan Modernitas<div style="text-align: justify;" class="article-tools clearfix"><div class="buttonheading"> <span> </span><span> </span><span> </span> </div> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><img src="http://fahmina.or.id/images/stories/gamelan.jpg" align="left" border="0" />Gamelan-gamelan itu laris manis bak kacang goreng. Terutama gamelan berukuran mini. Awalnya, kami (reporter fahmina-<em>institute</em>) mengira gamelan-gamelan itu hanya mainan biasa untuk anak-anak. Tapi ternyata memang asli gemelan, bisa membunyikan nada sesuai dengan kunci nada dari lagu yang kita inginkan. Hanya saja, sebagian besar bentuknya mini. Untuk sebuah gamelan yang bisa membunyikan nada <em>do re mi </em>dengan sempurna, harganya masih sangat terjangkau. Di desa Kondangsari, masih dijual senilai 3500 rupiah per gamelan, di tiga wilayah Cirebon dijual senilai 4000 rupiah per gamelan, sedangkan untuk luar tiga wilayah Cirebon dan luar Jawa, dijual senilai 5000 rupiah per gamelan. Ya, gamelan-gamelan itu sampai sekarang masih dibuat para perajin gamelan di Desa Kondangsari, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon.</p><p style="text-align: justify;">Kami juga sempat heran, ketika pertama kali melihat tumpukan gamelan yang siap dijual ke Kalimantan. Karena di tengah menjamurnya mainan-mainan modern, gamelan mini itu tetap bertahan. Uniknya, para perajin di desa Kondangsari tidak hanya membuat gamelan mini, mereka juga masih banyak yang membuat mainan jaman dulu. Para perajin itu bisa ditemukan di tiap rumah. Mainan yang pernah popular di tahun 1960-an. Seperti <em>manuk-manukan</em> (burung-burungan) yang terbuat dari kertas dengan hiasan plastik warna-warni emas perak, ada juga terompet dari kertas dan dihiasi dengan plastik warna-warni hingga terkesan meriah. </p><p style="text-align: justify;">Namun yang sampai sekarang masih mendatangkan untung besar adalah gamelan. Alat musik tradisional yang membunyikan nada <em>do re mi. </em>Kenapa kami menyebutnya nada <em>do re mi</em>, karena sebelumnya nada gamelan itu hanya dibuat khusus nada lagu-lagu Sunda dan belum dibuat khusus nada-nada lagu modern. Asal mulanya, alat musik ini hanya untuk menghantarkan wayang kulit. Kini, karena sengaja dibuat nada <em>do re mi</em>, maka lagu apapun bisa dibunyikan. Seperti diakui Oyo Darmaya (53), dibandingkan kerajinan lainnya, gamelan sudah dibuat perajin di Desa Kondangsari dari tahun 1956. </p><p style="text-align: justify;">“Tahun 1956 itu baru ada satu perajin, bernama pak Soleh. Kemudian tahun 1960-an sudah muncul tiga perajin handal. Mereka membuat dan menjualnya. Ini kan do re mi, salendro, jaman dulu lebih khusus untuk lagu-lagu Sunda. Salendro itu dari Jawa. Kalau yang dibuat sekarang ini <em>do re mi</em>, kalau dulu namanya <em>lerog</em>,” paparnya sambil menunjukkan bagian-bagian dari gamelan mini di depannya. </p><p style="text-align: justify;"><br /><br /><img src="http://fahmina.or.id/images/stories/gamelan3.jpg" width="170" align="left" border="0" height="227" /><strong>Mandiri </strong><br /><br />Seperti para perajin dan pengusaha gamelan lainnya, Oyo tidak hanya menjual gamelan-gamelan mininya ke Cirebon, kini telah merambah ke Jakarta dan luar Jawa seperti Palembang, Sumatra, dan Riau. Sebagai perajin sekaligus penjual gemelan, Oyo mengaku masih baru. Baru dua tahun. Karena sebelumnya dia hanya membuat saja, alias mengikuti orang tuanya. Dalam satu hari, kini dia dan beberapa pekerjanya mampu membuat 6000 <em>do re mi</em>. “Selama ini, selalu laku karena ini murah. Pasarannya juga semakin ramai. Untuk jaman sekarang memang aneh. Kita sering bikin 15 ribuan do re mi dan dalam sebulan tetap habis. Menjual mainan ini seperti menjual sayuran, karena selalu laris manis,” jelas Oyo.</p><p style="text-align: justify;">Kendati begitu, Oyo masih mengaku menjual secara mandiri. Maksudnya, dia mempekerjakan orang lain untuk menawarkan dagangannya hingga ke luar Jawa. Biasanya mereka akan kembali lagi setelah sebulanan dan terjual habis. Seperti di Kalimantan, Oyo mengaku dagangannya cepat laku. Hal itu diakuinya karena gamelan yang dijualnya memiliki keunikan tersendiri. Baik dari proses pembuatannya maupun bahan-bahan yang dipilih untuk membuat gamelan tersebut. “Tapi mereka (para pekerjanya) juga tak jarang melebihi sebulan, jika kesulitan mendapatkan transportasi dengan biaya miring. Mereka mau tidak mau harus menunggu sekitar 4-5 harian,” ujarnya. </p><p style="text-align: justify;">Diakui Oyo, selama ini peran pemerintah masih sangat mini. Terutama dalam upaya melestarikan produk budaya, terbukti belum adanya bantuan dari pemerintah baik modal maupun pelatihan. Oyo sendiri, pertama kali membuka usahanya, cukup dengan modal 3 juta. Tapi kini, dengan uang 3 juta belum bisa. “Sekarang harus 10 juta punya modalnya. 3 juta itu hanya cukup untuk 50 ribu brim. Karena 30 brim saja itu sudah 2 juta,” jelas Oyo.</p><p style="text-align: justify;"><br /><br /><img src="http://fahmina.or.id/images/stories/gamelan2.jpg" align="left" border="0" /><strong>Butuh Ketrampilan Khusus<br /><br /></strong>Membuat gamelan mini yang dijual Oyo ternyata tidak segampang yang terlihat. Karena menurutnya, selain membutuhkan para perajin handal, mengolah bahan-bahannya juga harus teliti dan jeli. Seperti salah satu perajin yang disewanya, namanya Maman (21), warga Kondangsari. Dibandingkan perajin seumurannya, Maman tergolong perajin yang cukup handal menciptakan irama <em>do re mi</em>. </p><p style="text-align: justify;">Proses pembuatan dan bahan yang dipilihnya juga cukup unik. Contohnya, ketika membuat alas penyagga yang ditempatkan untuk menyangga besi, Maman membutuhkan waktu sekitar tiga tahunan agar handal membuat nada <em>do re mi </em>yang dibunyikan dari besi. Besi yang digunakan juga harus melalui proses pembakaran terlebih dahulu. Sedangkan sumbu sebagai alas besi tersebut, dibuat dari rumput (<em>eri</em>) khusus yang dibungkus dengan kertas semen. Bahan-bahannya, biasanya meredak beli di Cikalahang. Sekarang, sumbu-sumbu itu mudah didapat alias harganya mulai turun, karena masyarakat lebih banyak menggunakan gas. </p><p style="text-align: justify;">Maman mendapatkan bayaran senilai 100 rupiah per besi <em>do re mi</em>. Sehingga, jika dalam sehari kerja mendapatkan 400 besi, maka Maman mendapatkan upah senilai 40.000 rupiah. Selain Maman, juga ada pekerja yang khusus mengecat papannya, yang memaku besi ke papan, yang membakar besi, dan yang membunyikan irama. Menurut Maman, tingkat kesulitan membuat <em>do re mi</em>, ini tergantung bahannya. Kalau besinya lebih tebal, biasanya kurang pas nadanya. Cara pembuatannya juga harus rapih. Kalau tidak, maka tidak menarik.</p><div style="text-align: justify;"> “Kalau membakarnya kelamaan, maka tidak enak bunyinya. Jadi harus dikontrol. Kalau pengen bisa, itu sekitar 3 tahunan agar bisa memadukan nada do re mi. Harus hapal juga bunyi do re mi-nya,” papar Maman. Maman juga mengaku tertarik menekuni ketrampilan membuat nada do re mi. Karena selain bayarannya lebih, juga ada kesenangan tersendiri. Tak banyak orang yang mampu memadukan nada do re mi. Sehingga, Maman tak jarang diminta bekerja oleh lebih dari satu pengusaha.<br /><br />di posting dari .. http://fahmina.or.id</div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-4288982614450997232010-05-16T10:34:00.000-07:002010-05-16T10:35:50.265-07:00Para Santri dan Sejarah Cirebon yang Terpinggirkan<div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Cirebon dulu hanyalah sebuah pedukuhan kecil bagian dari sebuah negeri besar Pakuan Pajajaran yang memiliki pelabuhan laut yang terletak di kaki Gunung Sembung dan Amparan Jati, sementara daerah lainnya masih berupa hutan belukar. Naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis tahun 1702 Masehi mengisahkan bahwa Dukuh Pasambangan pada tahun 1482, masih menjadi daerah kekuasaan Pakuan Pajajaran dengan raja yang berkuasa Prabu Siliwangi.<br />Yang patut dicatat dan direnungi, penguasa pelabuhan Cirebon masa itu begitu menghormati tokoh agama Islam yang mendirikan pesantren di sekitar pelabuhan meski ia sendiri bukan pemeluk Islam. Maka tokoh agama dan seorang kiai asal Mekah yang bernama Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhofi juga disebut Syekh Nuruljati, membalas penghormatan penguasa pedukuhan itu dengan membantu pembangunan pedukuhan Cirebon, hingga berkembang pesat menjadi sebuah pedukuhan dengan pelabuhan yang besar dan terkenal di kalangan pedagang nasional maupun internasional. Setiap harinya pelabuhan ini dilabuhi banyak perahu dari berbagai negeri seperti dari Cina, Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Pasei, Jawa Timur, Madura, dan Palembang.<br />Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para santrinya kala itu dalam membangun kejayaan Cirebon tampak sangat menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang pesat hingga mengalahkan agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan gerakan anarkis atau dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk Kahpi mensyiarkan Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil ‘alamin.<br />Rupanya Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahannya berbunyi, “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.<br />Maka nama besar Kiai Syekh Datuk Kahpi ini menebar ke berbagai negeri. Tak pelak, namanya membuat dua anak Maha Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi, bernama Raden Walangsungsang dan Nyai Lara Santang, menjadi santri di Pondok Pesantren Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati.<br />Dalam mendidik, Kiai Syekh Datuk Kahpi tidak mengajarkan terorisme terhadap para santrinya. Seperti yang tertulis dalam naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis tahun 1702 Masehi. Kiai Syekh Datuk Kahpi selain mengajarkan ilmu keagamaan juga mengajarkan ilmu kehidupan. Sebagai contoh, saat dua orang santri, putra Prabu Siliwangi, selesai belajar ilmu agama selama tiga tahun, Kiai Syekh Datuk Kahfi menerjunkan para santrinya itu - dipimpin santri bernama Raden Walangsungsang - untuk babad alas/membuka hutan belukar untuk mendirikan pedukuhan di kebon pesisir, Lemahwungkuk yang pada waktu itu disebut Tegal Alang-alang.<br />Hasilnya menggembirakan. Para santri menunjukkan hasil dalam babad alas. Atas keberhasilan babad alas ini, Raden Walangsungsang - selaku pimpinan babad alas dijuluki Ki Samadullah oleh Kiai Syekh Datuk Kahpi. Dan setelah babad alas usai, Ki Samadullah pun mendirikan tajug baru dan membuat gubuk.<br />Dalam hitungan tahun pedukuhan ini makin lama bertambah ramai. Banyak orang berdatangan untuk berdagang dan menangkap ikan. Komandan santri yang babad alas Cerbon ini menikah. Pedukuhan ini berubah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Caruban Larang. Kuwu pertama adalah mertua Ki Samadullah yakni Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang. Sementara Ki Samadullah diangkat menjadi pangraksa bumi.<br />Kepiawaian sosok santri Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah ini mampu menarik simpatik banyak orang. Sehingga dalam tiga tahun Desa Caruban Larang banyak dikunjungi orang untuk berdagang bahkan berdiam menjadi penduduk setempat. Mereka yang berdiam di Desa Caruban larang adalah orang-orang dari berbagai bangsa dan berbagai agama serta berbagai profesi. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang dipegang oleh seorang santri mampu mengayomi banyak orang dari berbagai bangsa, agama, dan pekerjaan. Ki Samadullah juga dikenal banyak menolong bukan cuma dari golongan sendiri tapi juga kepada orang dari golongan lain yang memang perlu dan membutuhkan pertolongan.<br />Atas saran dari gurunya Kiai Syekh Datuk Kahfi, Ki Samadullah dan adiknya Nyi Mas Lara Santang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Makah kepada Syekh Abdul Yazid. Ki Samadullah - santri Syekh Datuk Kahfi ini , sepulang dari Makah mengajar agama Islam pada penduduk di Caruban. Makin lama makin banyak pengikut Ki Samadullah.<br />Ki Samadullah yang mendapat gelar Pangeran Cakrabuwana membangun keraton dengan berbagai kemudahan . Semua kemudahan itu tidak terlepas dari sikap hidupnya yang selalu menolong sesama. Ia telah mendapat pertolongan Allah SWT. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw., “Allah menolong seorang hamba selama hamba termaksud (suka) menolong sesama”.<br />Ki Samadullah ini merintis pembangunan kota yang sekarang berkembang menjadi Cirebon diperkirakan jatuh pada tahun 1445 Masehi. Ia adalah perintis adanya Cirebon sebagai sebuah negara yang berdaulat. Keberhasilan Ki Samadullah dalam membangun Cirebon diteruskan oleh seorang santri lainnya yang juga keponakan Ki Samadullah bernama Syekh Syarif Hidayat (belakangan dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati), yakni cucu Prabu Siliwangi.<br />Keilmuan yang dimiliki santri Syarif Hidayat ini tak perlu diragukan. Sebab pada usia 20 tahun, ia telah mesantren ke berbagai negeri pusat agama Islam. Sunan Gunung Djati alias Syarif Hidayat pernah menjadi santrinya Syekh Tajuddin Al-Kubri Makkah selama 2 tahun dan menjadi santrinya Syekh Ata’ullahi Sadzili, pengikut Imam Safi’i, selama 2 tahun. Kemudian belajar tasawuf di Baghdad Irak. Tamat belajar dari Baghdad Sunan Gunung Djati mondok di Pasei Aceh dan berguru pada Sayid Ishaq selama 2 tahun.<br />Tahun 1470 Masehi Sunan Gunung Djati membuka pondok pesantren di Gunung Sembung (sekarang Desa Astana Kecamatan Cirebon Utara). Tahun 1479 Masehi Sunan Gunung Djati menjadi Tumenggung bergelar Susuhunan Jati dengan berkedudukan di Keraton Pakungwati. Bersamaan dengan itu Sunan Gunung Djati dinobatkan sebagai Penegak Panatagama Islam yakni wali di seluruh wilayah Sunda oleh para Wali Sanga, menggantikan guru ngajinya Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurul Jati yang telah wafat.<br />Kepemimpinan Sunan Gunung Djati dengan syiar Islam yang mengajak rakyat untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT membuahkan hasil yang menggembirakan. Cirebon dibangun dengan tapak sejarah kemaksiatan. Terbukti penduduk Cirebon semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati sebagian besar berubah agama menjadi penduduk beragama Islam yang memelihara keimanan dan ketakwaan secara kaffah.<br />Bahkan saat Sunan Gunung Djati memproklamasikan Cirebon sebagai negara berdaulat dan tidak lagi menjadi daerah jajahan Pakuan Pajajaran, tanpa mengacungkan pedang dan mengumandangkan genderang perang saudara. Cirebon menjadi negara Islam yang besar dan berjaya di Jawa Barat dengan penduduknya yang makmur.<br />Keberhasilan Sunan Gunung Djati dalam memimpin negeri Cirebon hanya dan lantaran mengamalkan perintah Allah SWT dalam firman- Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa,pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Al-A’raf:96). “…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluanya)-nya” (A-Talaq :2-3).</div><br />Inilah bukti sejarah yang tak terbantahkan bahwa peran para santri, para kiai beserta komunitas pesantrennya begitu penting dalam menentukan keberadaan Cirebon sebagai negeri yang berjaya. Para santri dan kiai beserta komunitas pesantrennya di Cirebon semestinya tak terabaikan begitu saja, apalagi terpinggirkan seperti saat ini.Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1906351145798765325.post-60893720005911298812010-05-16T10:31:00.000-07:002010-05-16T10:33:18.826-07:00Sejarah Singkat GIA Cirebon<div style="text-align: justify;">Ditulis oleh Administrator<br />Friday, 27 March 2009<br /><br />Pendiri atau perintis persekutuan orang-orang percaya sebagai cikal bakal Gereja Isa Almasih Cirebon adalah Pdt.<br />Mulyadi Elia Wirawan ( Lie Soen Tjay ) sejak tanggal 08 Agustus 1950 Gereja Isa Almasih Cirebon (dulu Sing Ling Kauw<br />Hwee yang artinya Gereja Roh Kudus, seperti gereja pusat di Semarang ) mulai dibuka dengan tempat kebaktian di jalan<br />Kebon Blimbing Cirebon, di rumah Bapak Chang Hai Cin, sehingga di Cirebon waktu itu Gereja Isa Almasih Cirebon<br />terkenal dengan nama Gereja “Chang Hai Cin” yaitu nama si pemilik rumah tersebut. Dan kebaktian yang<br />ada pada waktu itu adalah kebaktian umum, kebaktian anak-anak dan pendalaman Alkitab serta persekutuan doa.<br />Selanjutnya sehubungan Pdt. Mulyadi Elia Wirawan pindah ke Pati maka kepemimpinan diteruskan oleh Pdt. Yahya<br />Sutandi (Tan Soen Hok) sejak tahun 1953. untuk kebaktian anak-anak sempat diadakan di rumah “Tante<br />Kembar” (Ibu Giok Lioe) yang sekarang usaha manisan di Pekalangan Gang Pedati Gede. Sekalipun hanya<br />dengan sarana “delman” yang disediakan oleh guru sekolah Minggu untuk keperluan antar jemput anakanak<br />dalam mengikuti kebaktian, dengan demikian hubungan guru dan anak akrab sekali.<br />Setelah selang beberapa waktu lamanya kebaktian orang-orang percaya tersebut pindah ke jalan Bahagia No. 27 di<br />rumah Pdt. Yahya Sutandi . Oleh berkat pimpinan Tuhan Jemaat semakin bertambah. Dengan demikian bertambah pula<br />pergumulan jemaat untuk memiliki tempat ibadah yang permanen. Kesulitan dan tantangan yang dialami jemaat untuk<br />memiliki tempat ibadah permanen sempat membuat jemaat putus asa.<br />Harapan jemaat mulai nampak yaitu pada Sidang Sinode tahun 1958, pengurus pusat berjanji dengan pertolongan<br />Tuhan akan membantu cabang Cirebon dalam usaha memiliki rumah kebaktian. Untuk mendukung kerinduan jemaat<br />Cirebon maka diadakan doa rantai di Semarang mulai tanggal 01 Februari – 30 April 1954. Dan luar biasa kuasa<br />Tuhan nyata, berkat doa itu maka pada tanggal 28 Maret 1954 dapat dibeli oleh Yayasan Sing Ling Kauw Hwee<br />Semarang suatu bangunan dari batu berukuran 20 m x 11 m seharga Rp. 40.000,- (sebuah bangunan bekas gudang<br />pabrik tenun) yang kemudian dijadikan gereja untuk kebaktian hingga sampai saat ini, yaitu di Jalan Karang Kencana 38<br />Cirebon<br />Berkat pimpinan Tuhan pada tanggal 02 April 1956 telah diresmikan gedung yang sudah dibeli tersebut sebagai tempat<br />ibadah. Pada bulan itu juga tepatnya tanggal 03 April 1956 telah diadakan pemilihan majelis pertama GIA Cirebon. Dan<br />terpilih sebagai berikut : Bapak Tan Lian Boe, The Tjien Seng, Tjoa Khe Tin dan Ang Swie Bie. Gereja yang semula<br />terkenal dengan nama Chang Hai Cin berubah menjadi Gereja Sing Ling Kauw Hwee, sekarang dikenal dengan nama<br />Gereja Isa Almasih Cirebon.<br />Estafet kepemimpinan GIA Jemaat Cirebon yang dipimpin oleh Bapak Pdt. Yahya Sutandi selama 22 tahun berakhir<br />setelah beliau dimutasikan sebagai Staff Sekum MPH GIA di Semarang pada tanggal 01 April 1975. Maka<br />kepemimpinan gereja beralih pada Pdt. J. Tedjosusilo (Juni 1975 – Maret 1979). Kemudian digantikan oleh Pdt.<br />Z.S Djoko Poernomo yang menjabat sebagai caretaker pada tanggal 30 Oktober 1979 dan ditahbiskan sebagai<br />pendeta/Gembala Sidang pada tanggal 26 Oktober 1980 dan masa jabatan penggembalaan berakhir pada tanggal 08<br />April 1985. Kemudian penggembalaan dilanjutkan oleh Pdt. Ertin Tan yang waktu itu sebagai pendeta Detasering pada<br />tanggal 04 Mei 1985. Ditahbiskan sebagai pendeta/Penanggungjawab Jemaat pada tanggal 13 Desember 1987, karena<br />waktu itu belum diperkenankan Gembala Sidang Wanita, setelah Sidang Sinode ke XV maka pada tanggal 22 Oktober<br />1995 beliau ditahbiskan sebagai Gembala Sidang wanita yang pertama kali dalam sejarah Gereja Isa Almasih. Dan<br />menjabat sebagai Gembala Sidang dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2001.<br />Adapun susunan kemajelisan periode 1994 – 1997 adalah sebagai beriku : Bapak Ngaidjan, Bapak Madi<br />Suhardji, Bapak Alexander Sonny Lay, Bapak Pramono Sutopo, Bapak Kuswandy, Bapak Suroso (Alm), Ibu Yahya<br />Hardianto. Susunan majelis periode 1997 – 2000 sebagai berikut : Bapak Ngaidjan, Bapak Pramono Sutopo,<br />Bapak Kuswandi, Bapak Suroso (Alm), Ibu Yahya Hardianto, Bapak Samuel Setiady. Pada tanggal 16 September 2001,<br />Ibu Pdt. Ertin Tan memasuki masa Emiritus dan kepemimpinan Gereja Isa Almasih Jemaat Cirebon dilanjutkan oleh Pdt.<br />Djudju Hendra yang ditahbiskan sebagai Gembala Sidang ke-6 pada tanggal 16 September 2001, dengan dibantu oleh<br />Pdm. Imanuel Inuhan. Adapun susunan Majelis periode 2000 – 2003 adalah : Bapak Pdt. Djudju Hendra (Ketua),<br />Bapak Rullyantomo (Sekretaris), Ibu Angelina Suyitno (Bendahara I), Bapak Sudiharto (Bendahara II), Bapak Herry<br />Christian (Bidang seksi), Bapak Samuel Setiady (Bidang Sarana dan pembangunan), Bapak Timotius Chandra (Bidang<br />Diakonia). Sejak tanggal 08 April 1965 dimana diadakan pentahbisan Gedung ibadah utama Gereja Isa Almasih Cirebon<br />dan sampai sekarang terus berkembang dan telah beberapa kali mengalami renovasi bahkan telah ditambah<br />pembangunan sebelah gereja yang dahulu dipakai sebagai pastori Gembala Sidang. Dan Tuhan juga menyatakan kasih-<br />Nya, dimana gereja dapat membeli sebidang tanah dengan bangunan di jalan Langensari Lama No. 57 Cirebon yang<br />digunakan untuk pastori Gembala Sidang. Sehingga bangunan pastori lama (sebelah gereja) sekarang telah didirikan<br />bangunan berlantai dua untuk kantor dan ruang kelas Sekolah Minggu serta ruang serbaguna yang diresmikan pada<br />tanggal 12 Maret 2000.<br />Pada tahun 2003 diusia yang ke 53 tahun, Gereja Isa Almasih Cirebon mengadakan KKR yang pertama dengan thema<br />”DIA JAWABAN HIDUPKU” yang dilaksanakan diluar gedung Gereja Isa Almasih Cirebon yaitu digedung<br />GRAGE MULTIFUNCTION (kawasan wisata belanja Grage Cirebon) sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan dan<br />sekaligus mengadakan pemilihan majelis jemaat periode 2003-2006 secara demokratis dan langsung oleh jemaat yang<br />dipimpin oleh Gembala Sidang Pdt. Djudju Hendra dibantu oleh Pdm. Imanuel Inuhan. Adapun susunan kepengurusan<br />kemajelisan periode 2003 – 2006 yaitu : Pdt. Djudju Hendra (Gembala Sidang sekaligus ketua), Bapak Herry<br />Christian (Sekretaris), Bapak Timotius Chandra (Bendahara), Bapak Yohanes Lukito (Bidang I yang menangani ibadah,<br />Usher Kolektan dan KPK), Bapak Andreas Pesik, SH (Bidang II yang menangani seksi-seksi seperti: KAA, RBK, PBK, KW, Musik dan Paduan suara), Bapak Karsani (Bidang III yang menangani Diakonia dan beasiswa), Bapak Samuel<br />Setiady (Bidang IV yang menangani sarana dan pembangunan) serta dibantu tim verifikasi keuangan yaitu Bapak<br />Sudiharto dan Ibu Angelina Suyitno dan juga staff rohaniwan Pdm. Imanuel Inuhan. Namun pada tanggal 12 September<br />2004 Pdm. Imanuel Inuhan memenuhi panggilan pelayanan-Nya untuk menjadi Gembala Sidang Gereja Isa Almasih<br />Jamblang yang saat itu vakum Gembala Sidang sekaligus ditahbiskan jadi pendeta penuh. Dan selanjutnya Tuhan<br />mengirim Pdm. Simon Margono pada bulan Mei 2006 sebagai Staff rohaniwan Gereja Isa Almasih Cirebon.<br />Pada tanggal 27 Juli 2006, Tuhan memanggil pulang hamba-Nya Gembala Sidang terkasih (Alm) Pdt. Djudju Hendra<br />setelah mengalami operasi di RS Siloam, Karawaci Tangerang dalam usia 44 tahun, padahal tanggal 30 Juli 2006<br />rencananya akan diadakan pemilihan majelis jemaat periode 2006 – 2009. Namun karena situasi darurat dengan<br />vakumnya Gembala Sidang, maka rencana pemilihan Majelis ditunda sampai ada Gembala Sidang baru. Dan sementara<br />itu roda pelayanan Gereja Isa Almasih Cirebon ditangani oleh para majelis sampai saat ini bekerjasama dengan<br />pengurus-pengurus seksi dibantu oleh Pdm. Simon Margono sampai ada Gembala Sidang pengganti.<br />Pada HUT GIA Cirebon ke 57 atau kurang lebih 1 tahun dalam kevakuman Gembala Sidang, maka Majelis dan jemaat<br />GIA Cirebon dengan pertolongan Sang Gembala Agung Tuhan Yesus Kristus dan kuasa Roh Kudus-Nya terus<br />memantapkan panggilan-Nya untuk tetap bergerak maju mengemban tugas amanat agung Kristus yaitu menjadi saksi<br />dan memenangkan banyak jiwa untuk masuk dalam keselamatan kekal.<br />Untuk itu tanggal 7 Agustus 2007 kembali diadakan KKR Celebration of Praise 2007 di gedung Gratia Cirebon dengan<br />thema ”DIA KEKUTAN DAN MAZMURKU” dan tanggal 8 Agustus 2007 diadakan kebaktian syukur dan<br />penthabisan Pdm. Simon Margono menjadi Pendeta oleh MPH Sinode GIA, agar tugas pelayanan di Jemaat Cirebon<br />lebih maksimal lagi sambil menantikan gembala sidang yang baru.<br />Dan akhirnya setelah kurang lebih 2 tahun mengalami kevakuman gembala sidang maka Tuhan Yesus Kristus<br />menjawab doa jemaat GIA Cirebon yang senantiasa memohon dan beriman kepada-Nya, dengan menganugrahkan<br />seorang gembala sidang yang bersedia memenuhi panggilan penggembalaan dan juga mengasihi jemaat-Nya yaitu Pdt.<br />Obaja Saleman beserta istri dan ketiga putra putrinya.<br />Kami bersyukur tidak terlalu lama mengalami kevakuman gembala sidang oleh sebab itulah dengan adanya anugrah<br />Tuhan yang besar ini maka segenap majelis dan jemaat bertekad untuk bangkit, bersatu dan maju bersama dalam<br />membangun pelayanan Bapa di Surga melalui wadah Gereja Isa Almasih Cirebon dengan paradigma baru yang sesuai<br />dengan kebenaran firman-Nya.<br />Untuk itulah dalam rangka HUT ke 58 ini yang mengambil thema ” Bangkit dan maju bersama bagi<br />Kristus” maka Majelis dan jemaat mengadakan kebaktian Penthabisan gembala Sidang atas Pdt. Obaja Saleman<br />yang dilaksanakan oleh pengurus MPH Sinode Gereja Isa Almasih pada tanggal 18 Agustus 2008 dan kebaktian syukur<br />HUT GIA Cirebon ke 58 tanggal 19 Agustus 2008 dengan pembicara Pdt. DR. Rubin Adi Abraham dan kesaksian oleh<br />Bpk. Robby Sugara (mantan aktor film yang telah dijamah Tuhan kehidupan rumah tangganya).<br />Kami percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus Sang Gembala Agung punya rencana yang sangat indah untuk jemaat GIA<br />Cirebon, melalui perjalanan selama 58 tahun dengan segala suka dan duka dalam roda pelayanan yang ada namun<br />Tuhan tidak pernah meninggalkan gereja-Nya. Dan dengan segala hal yang dialami akan membuat jemaat semakin<br />dewasa bahkan melalui anugrah seorang gembala sidang yang baru jemaat akan semakin tampil memberi dampak yang<br />positif ditengah masyarakat kota Cirebon khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sehingga banyak jiwa-jiwa<br />baru yang dituai dan dimenangkan bagi Kristus pada masa akhir jaman ini.<br />Kami sadar bahwa segala sesuatu datang dari DIA, oleh karena DIA dan hanya bagi DIA kemuliaan sampai selamalamanya<br />amin.<br /><br /></div>Adhi Nugrahahttp://www.blogger.com/profile/05745898351614425750noreply@blogger.com0