Oleh Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.
1. Kasus Pendopo Cirebon
Pendopo merupakan salah satu tonggak sejarah
kabupaten. Dikatakan demikian, karena pendopo biasanya
didirikan sejalan dengan pembentukan suatu kabupaten.
Sumber-sumber sejarah yang akurat menunjukkan, di daerah
Jawa Barat, pembentukan kabupten dalam arti pemerintahan
berbentuk kabupaten, baru terjadi setelah Kerajaan Sunda/
Pajajaran runtuh (1579). Sejumlah kabupaten tua di Jawa Barat,
termasuk Cirebon, berdiri antara abad ke-17 s.d. perempat
pertama abad ke-19.
Pada awal perkembangan Kabupaten Cirebon, pendopo
kabupaten itu masih sangat sederhana. Bangunannya belum
berupa bangunan permanen dan dibuat dengan arsitektur
tradisional. Setelah ke Cirebon masuk intervensi kekuasan
2. pemerintah kolonial Belanda (mulai awal abad ke-19), pendopo
itu kemudian direnovasi menjadi bangunan permanen dengan
arsitektur modern (langgam arsitektur antik untuk masa kini).
Sekarang bangunan pendopo yang telah berumur ratusan
tahun itu masih berdiri kokoh dan terawat. Akan tetapi sejak
beberapa tahun yang lalu, bangunan itu tidak lagi berfungsi
sebagai kantor bupati, melainkan beralih fungsi menjadi rumah
dinas Bupati Cirebon. Seiring dengan perkembangan
pemerintahan di daerah Cirebon, sekarang pendopo – maksudnya
bekas pendopo – yang berlokasi di Jalan Kartini No. 1
Cirebon berada di wilayah Pemkot (Pemerintah Kota) Cirebon.
Keberadaan pendopo di wilayah pemkot dengan fungsi
sebagai rumah dinas bupati, akhir-akhir ini menimbulkan
permasalahan antara Bupati Cirebon H. Dedi Supardi dengan
Walikota Cirebon Subardi. Seperti diberitakan dalam koran ini
(23 September 2006), sekarang muncul wacana tentang
pengambilalihan pendopo tersebut oleh Walikota Cirebon. Bila
3. Pemkot Cirebon menguasainya, bangunan itu akan digunakan
menjadi museum. Wacana pengambilalihan aset Kabupaten
Cirebon itu ditanggapi serius oleh Bupati Cirebon. Akan tetapi
tanggapan itu menjurus pada jual-beli pendopo, padahal
bangunan itu beserta lahannya merupakan benda cagar budaya
(BCB) dan situs sejarah.
Berita mengenai wacana tersebut – bila menggunakan
kalimat lugas – menyatakan, bahwa Bupati Cirebon akan
menjual pendopo beserta lahannya (luas 18.150 meter persegi)
kepada Pemkot Cirebon dengan harga Rp 150 miliar. Katanya
harga itu didasarkan pada harga pasaran tanah di kawasan pusat
kota Cirebon sebesar Rp 10 juta per meter. Dalam hal ini,
Pemkot Cirebon diwakili oleh Walikota Subardi menyatakan
kesediannya untuk membeli bekas pendopo asal dengan harga
yang sesuai, dalam arti realistis.
Bila ditelaah, permasalahan tersebut, pada satu sisi
menunjukkan bahwa Pemda Cirebon, baik Pemkab (Pemerintah
4. Kabupaten) maupun Pemkot, memahami benar bahwa
bangunan bekas pendopo, sekarang sudah menjadi benda cagar
budaya, karena bangunan itu memiliki persyaratan BCB, yaitu
umur lebih dari 50 tahun dan memiliki nilai sejarah serta nilai
budaya. Dengan demikian, bekas pendopo itu merupakan
bangunan yang dilindungi oleh undang-undang, yaitu Undang-
Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Undang-undang ini terdiri atas 10 bab mencakup 32 pasal.
Pada sisi lain, wacana itu menunjukkan adanya kesan,
rupanya aparat pemda setempat belum memahami benar
kedudukan dan ketentuan pelestarian BCB. Menurut undangundang
tersebut, BCB yang karena nilai, sifat, jumlah, jenis,
dan arti pentingnya untuk sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan, perlu dilestarikan dan dinyatakan milik negara
(Pasal 5 ayat 1).
Berdasarkan Pasal 5 itu, berarti pendopo yang sudah
menjadi BCB, bukan lagi milik Pemkab Cirebon apalagi bupati,
5. melainkan milik negara (RI) atau dikuasai oleh negara (Pasal 4
ayat 1). Pihak Pemda Cirebon hanya memiliki hak guna pakai,
dan kewajiban melindungi serta memeliharanya dengan
memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta
pengamannya (Pasal 13).
Bila hal-hal yang disebut terakhir dan ketentuan-ketentuan
lain mengenai BCB diketahui dan dipahami dengan baik,
seharusnya tidak perlu muncul wacana yang menjurus ke arah
jual-beli pendopo sebagai BCB, karena hal itu bertentangan,
bahkan melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1992,
khususnya Pasal 15 ayat 2 f tentang larangan memperdagangkan
BCB dan Pasal 19 tentang pemanfaatan BCB.
Undang-undang tersebut juga mengamanatkan, agar
pengawasan terhadap BCB dan situs yang ditetapkan, dilakukan
secara terpadu (Pasal 24 ayat 2). Hal itu berarti Pemkab dan
Pemkot Cirebon memiliki kewajiban untuk berkoordinasi dan
melakukan kegiatan secara terpadu dalam pengawasan terhadap
6. upaya pelestarian dan perlindungan bekas pendopo dan BCB
lainnya di daerah Cirebon.
Sungguh disayangkan apabila BCB yang terdapat di
wilayah Cirebon, seperti Keraton Kasepuhan, Keraton
Kanoman, Keraton Kacirebonan berikut BCB di dalamnya, dan
bangunan-bangunan bersejarah lain peninggalan kolonial,
terkesan kurang mendapat perhatian, baik dari pihak pemda
maupun dari masyarakat. Dalam hal ini, seyogyanya kita jangan
bersikap munafik dengan menelantarkan bangunan-bangunan
bersejarah peninggalan pihak kolonial. Kini bangunanbangunan
itu sudah menjadi khasanah budaya bangsa
Indonesia, khususnya pemda dan warga masyarakat daerah
yang bersangkutan.
Mengenai gagasan walikota untuk mengadakan museum
di kota Cirebon, patut mendapat dukungan, karena memang
sudah sepantasnya bila di kota itu terdapat museum sejarah dan
budaya. Pertama, Cirebon memiliki perjalanan sejarah sangat
7. panjang. Pada awal perjalanannya, Cirebon menjadi pusat
utama penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Kedua, di
Cirebon terdapat tiga keraton, masing-masing dengan bendabenda
sejarah dan budaya yang dimilikinya. Ketiga, sejak dulu
sampai sekarang, Cirebon kaya akan potensi seni-budaya,
seperti seni tari (tari topeng, tari panji dll.), wayang, seni batik,
seni lukis kaca, sintren, dan lain-lain.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka museum itu
dimaksudkan untuk menyimpan dan memelihara benda-benda
sejarah dan budaya. Benda-benda sejarah dan budaya milik
keraton yang tidak terawat, akan lebih baik disimpan di dan
dipelihara oleh museum. Museum juga dapat mendokumentasikan
instrumen kesenian, contoh produk seni-budaya, dan
koleksi benda lain yang sesuai dengan fungsi dan tujuan
pembentukan museum. Apabila pendopo tersebut dijadikan
museum, kiranya nilai sejarah dan pamor bangunan itu sebagai
BCB akan terpelihara.
8. Selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan, keberadaan
museum juga akan menambah daya tarik wisata, karena dalam
kehidupan pariwisata, objek sejarah umumnya menjadi objek
wisata. Di Jawa Barat khususnya dan Pulau Jawa umumnya,
Cirebon termasuk daerah tujuan wisata. Dengan demikian,
kegiatan wisata di daerah Cirebon akan terbagi atas wisata
sejarah, wisata ziarah, wisata budaya, dan wisata ilmiah.
Penulis Sejarawan Senior Fakultas Sastra Unpad,
Anggota Dewan Pengurus Pusat Studi Sunda
Catatan: Dimuat dalam PR, 2 Okt. 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar