Menciptakan suatu produk sehingga menjadi trademark suatu kota bukanlah perkara mudah. Namun Haji Anaya (45) dan isterinya Hajah Sopiah (43), yang keduanya berpendidikan SD, mampu melakukannya.
Berbekal keuletan dan kejeliannya memilih produk, Haji Anaya mampu merintis dan mempopulerkan kerupuk melarat. Namanya memang kerupuk melarat. Entah mengapa dinamakan demikian. Tetapi kerupuk yang terbuat dari tapioca ini, dalam 15 tahun terakhir, begitu popular dan menjadi ciri khas Cirebon, seperti halnya brem dari Madiun, dodol dari Garut, tape dari Bandung, atau bakpia dari Yogyakarta.
Popularitas kerupukyang digoreng dengan pasir ini tak kalah dari kerupuk udang, yang juga banyak diproduksi di Cirebon. Bahkan kerupuk ini boleh dibilang lebih merakyat karena mudah dijumpai diwarung kecil, took makanan, hingga pasar swalayan dengan harga relative murah. Tingakat konsumsi masyarakat terhadap kerupuk ini pun cukup tinggi, karena dari satu pabrik saja bisa dihasilkan 30 ton kerupuk per bulan dan semuanya habis dibeli sebagai oleh-oleh khas Cirebon maupun dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Bahkan grosir dan pedagang besar tidak bisa langsung membeli kerupuk mentah dari pabrik, tetapi harus antre pesan beberapa hari sebelumnya.
“Biasanya mereka menelopon dulu kesini untuk masuk daftar antrean, baru 2-3 hari kemudian barang dikirim. Jika pesenan banyak, terkadang kerupuk baru bisa dikirim seminggu kemudian,” kata Haji Anaya yang memproduksi kerupuknya dipabrik sederhana berdinding gedeg (anyaman bambu) di Desa Gesik, Kecamatan Cirebon Barat. Di desa ini pula Anaya merancang sendiri mesin-mesin pembuat kerupuk: tungku-tungku raksasa untuk mengukus kerupuk hingga merancang alat pemotong kerupuk yang sangat sederhana namun praktis. Selain itu juga Anaya membuat diversifikasi jenis kerupuk hingga tujuh macam, dengan bahan dan rasa yang beragam sesuai selera pasar. Maklum, selain dipasarkan di sekitar Cirebon, kerupuk-kerupuk lainnya merambah hingga pasar swalayan di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Tegal yang semuanya memiliki cita rasa berbeda. Meski demikian, produk andalannya tetap kerupuk melarat.
Prinsip Efisiensi
Kerupuk melarat dibuat sederhana dari adonan tapioca campur garam yang dikukus, dipotong kemudian dijemur. Sebagian orang menyebutnya dengan kerupuk mares atau singkatan dari lemah (tanah) ngeres, karena digoreng menggunakan pasir. Penggunaan pasir ini memang disengaja agar kerupuk terasa gurih, bisa tahan lama hingga dua minggu dan tidak layu dan melempem. Kerupuk lain yang digoreng menggunakan minyak sawit maksimal hanya tahan seminggu.
Selain itu penggunaan pasir juga bisa menekan harga jual, sehingga kerupuk melarat hanya dijual sekitar Rp 2.500 per kilogram, atau jauh lebih rendah dibandingkan kerupuk udang yang harganya sekitar Rp 12.000 per kilogram mentah. Karena itulah disaat industri kerupuk udang banyak yang gulung tikar karena kesulitan bahan baku dan mahalnya minyak goring, industri kerupuk melarat justru berkembang pesat. “Hampir semua pabrik kerupuk melarat mengalami peningkatan pesanan,” kata Anaya.
Jika biasanya dia memproduksi 30 ton kerupuk melarat per bulan, kini naik sekitar 20 persen. Itu pun permintaan dari beberapa kota seperti Garut, Tasikmalaya, dan Bandung terpaksa tidak bisa dipenuhi. “Produksi kami sudah optimal. Tidak bisa ditingkatkan lagi karena kapasitas tungku, tempat penggorengan serta lahan untuk menjemur tidak memadai,” kata Anaya, yang berhasil merancang tungku pengukus kerupuk berkapasitas satu kuintal per tungku dengan alat-alat yang sangat sederhana terbuat dari karet bekas dan alumunium.
Sebagian pesanan langganannya yang tidak bisa dipenuhi kemudian dilaihkan kepada saudara-saudaranya yang juga menekuni usaha serupa dengan kapasitas sekitar 15-20 ton per bulan. Namun ini pun tetap saja tidak bisa memenuhi seluruh perminataan. “Ada beberapa pengusaha yang mencoba usaha kerupuk melarat, tetapiu karena pengolahannya kurang efisien harga jualnya menjadi mahal sehingga tidak bisa bersaing dengan usaha kami,” kata Anaya.
Prinsip efisiensi memang sangat ditekankan pada kegiatan usaha milik Haji Anaya. Karena tiulah selain merintis pembuatan kerupuk melarat, alat pencetak kerupuk, misalnya, terbuat dari besi yang tempatkan pada sebilah papan kemudian diduduki sehingga buruh tidak banyak mengeluarkan tenaga, namun produksinya optimal.
Begitu pula kerupuk lainnya yang mencapai tujuh macam, alat cetakan setiap jenisnya dirancang sendiri dengan bentuk berbeda-beda. Tawaran untuk melakukan mekanisasi alatcetak dari beberapa perusahaan swasta di Jakarta dengan halus ditolaknya, karena alat yang ia ciptakan sudah sangat efisien dan banyak menyerap tenaga kerja. “Jika pakai mesin, kasihan tetangga-tetangga di sini nanti malah nganggur,” ujarnya memberikan alas an sederhana.
Awal Usaha
Anaya memulai usaha kerupuk melarat pada 1976. saat itu kerupuk melarat belum banyak disukai masyarakat Cirebon dan popularitasnya kalah jauh dibandingkan kerupuk udang atau kerupuk kakapyang rasanya enak dan gurih. Produksinya pun masih minim, hanya sikitar 50 kilogram tapioca setiap hari. Meski demikian Anaya punya tekad kuat untuk memasarkan kerupuk melarat, sehingga ia rela berjalan kaki menitipkan beberapa bungkus kerupuk kepada pemilik warung disekitar Cirebon
Barulah tujuh tahun kemudian, sekitar 1983, usaha kerupuknya semakin berkembang. Tempat produksi yang semula hanya menempati bangunan seluas 4 x 5 meter sudah tidak memadai lagi. Bahan baku kerupuk berupa tapioca yang semula hanya 50 kilogram setiap hari meningkat sepuluh kali lipat menjadi lima kuintal setiap hari.
Anaya tidakperlu susah-susah lagi menawarkan kerupuk melarat ke setiap warung. Pembeli datang sendiri ke pabriknya di Desa Gresik, Kecamatan Cirebon Barat, dengan menggunakan bebagai jenis kendaraan termasuk truk. Pengusaha lain disekitar Cirebon, kemudian ikut-ikutan memproduksi kerupuk melarat. Anaya, yang sempat dua kali menunaikan ibadah haji dari hasil menjual kerupuk, menyambutnya dengan senang hati, karena dengan demikian berarti kerupuk melarat semakin popular di kalangan masyarakat Cirebon.
Sementara itu Anaya masih merasa kurang puas dengan keberhasilannya mempopulerkan kerupuk melarat. Bersama istrinya, Hajah Sofiah, “raja kerupuk” ini kemudian memproduksi kerupuk bala-bala, kemplang, owal, blekecot,usus, dan kerupuk sisir dengan bahan, bentuk, dan rasa yang beragam. Meski demikian harganya tetap murah, sekarang setelah krisis moneter harganya Rp 2.500-Rp 3.000 per kilogram untuk setiapjenis kerupuk.
Sementara itu kerupuk melarat semakin popular dan pemasarannya semakin meluas hingga ke toko-toko swalayan di Tasikmalaya, Majalengka, Garut, Indramayu, Bandung, dan Tegal. Karena itulah Anaya yang berpendidikan SD ini malakukan “survey pasar” dengan caranya sendiri. Menurut surveinya, beberapa daerah ternyata memiliki pilihan rasa berbeda: ada yang lebih menyukai rasa sedikit manis, namun ada pula yang lebih suka rasa asin. Hingga kini Anaya memproduksi kerupuk melarat dalam dua rasa yang berbeda, sedikitnya 30 ton per bulan. “Silakan hitung sendiri, berapa container untuk memuat kerupuk sebanyak 30 ton,” ujar ayah lima anak ini, dua dintaranya di perguruan tinggi terkemuka, sambil tertawa.
Namun yang menjadi ciri khas, kerupuk melarat tetap dipasarkan tanpa merek. Produsen cukup menggunakan plastic polos sebagai kemasannya. Konsumen tidak peduli dan tidak fanatic terhadap merek tertentu, karena memang semuanya tanpa merek. Mereka hanya tahu kerupuk melarat adalah kerupuk khas Cirebon. Mereka tidak tahu bahwa Haji Anaya yang susah payah mempopulerkannya.
di posting dari : http://blesak.wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar