Rabu, 19 Mei 2010

Pusat Agama Islam


Ketika Hajjah Syarifah Muda’im (Rara Santang) kembali ke Cirebon, ia disertai suaminya (Syarif Abdullah) dan puteranya Syarif Hidayatullah. Mereka tinggal dan menetap di Cirebon.

Syarif Hidayat di Cirebon menjadi guru agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat. Kemudian Walangsungsang menobatkan keponakannya tersebut menjadi Tumenggung di Cirebon. Menurut Yoseph Iskandar : “Pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 (antara Maret – April 1482), Syarif Hidayat menjadi Raja Cirebon dengan Gelar Susuhunan Jati”.

Syarif Hidayatullah (1448-1568) setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ''Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah''.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah pada masa Syarif Hidayat, terutama ketika dilihat dari hubungan antar Keraton islam di Pulau Jawa.

Kekerabatan Keraton
Hubungan dengan Demak diwarnai dengan pernikahan putra putri kedua negara tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan didalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat (Yoseph Iskandar), sebagai berikut : (1) Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana. (2) Pangeran Jaya dengan Ratu Ayu Pembayun (3) Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan atau Ratu Nyawa, putra dari Raden Patah. (4) Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II).

Hubungan dengan Banten misalnya, Panembahan Hasanudian adalah putra terkasih dari Syarif Hidayat dari Nyi Kawunganten (Banten), bahkan Syarif Hidayat merupakan kreator penting dari direbutnya Banten melalui tahap menjadikan terlebih dahulu sebagai Kabupaten dari Cirebon. Untuk kemudian pasca meninggalnya Syarif Hidayat, Banten menjadi negara yang berdaulat penuh, sejajar dengan Cirebon.

Pangeran Jaya Kelana dan Pangeran Bratakelana adalah putera Syarif Hidayat dari Syarifah Bagdad atau Syarifah Fatimah (putri dari Syekh Datuk Kahfi dari Hadijah), atau adik dari Syekh Abdurahman (Pangeran Panjunan). Pasca gugurnya Pangeran Bratakelana melawan bajak laut maka Ratu Nyawa menjadi istri Pangeran Muhamad Arifin (Pangeran Pasarean – Adipati Carbon I) kemudian gugur dalam peristiwa huru hara di Demak, ia terbuhun oleh Arya Penangsang, bupati Jipang. Untuk kemudian Arya Panangsang terbunuh pula oleh Sultan Hadiwijaya.

Menurut Sulendraningrat : “Tradisi perkawinan ini dimaksudkan untuk menjalin persahabatan abadi tanpa memperhatikan sikap serta ambisi pribadi manusia-manusia”. Dalam pembahasan yang sama, Sulendra menjelaskan pula : “sistim perkawinan ini dimanfaat oleh Mataram untuk melancarkan “unjuk gigi”, bahwa Mataram lebih berkuasa. Gejala ini nampak sejak Mas Rangsang Sultan Agung Mataram dengan Nyi Ratu Mas Ayu Sakluh, kakak perempuan Panembahan Ratu”. Demikian pula Amangkurat I, yang menikahkan putrinya dengan Pangeran Girilaya, Amangkurat I “senantiasa ingin merebut Cirebon”. Hal inilah yang menyebabkan banyak pengamat yang menyatakan bahwa Cirebon vazzal Mataram. Padahal secara formal tidak terjadi.

Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

Penyebaran agama islam ke daerah Kuningan atas jasa Syeh Maulana Akbar alias Syeh Bayanullah (adik Syeh Datik Kahfi), yang mendirikan pesantren di Sidapurna Kuningan. Syeh Bayanullah menikahi Nyi Wandasari putri dari Surayana putra Dewa Niskala. Dari perkawinan ini Syeh Bayanullah memperoleh putra yang kelak dikenal dengan nama Maulana Arifin, kemudian menikah dengan Rau Selawati cucu Sri Baduga.

Perjanjian dan Perang
Kekuatan dari ikatan kekeluargaan serta adanya dukungan Demak menginspirasi para Wali untuk mendorong Syarif Hidayat menjadikan sebagai pusat kekuatan agama Islam yang merdeka, sebelumya dibawah Galuh. Kemudian pada tanggal 12 bulan Caitra tahun 1404 Saka, atau bertepatan dengan bulan April 1482 M, Syarif Hidayat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhanan Jati.

Pernyataan Syarif Hidayat memancing kemarahan Sri Baduga. Untuk kemudian Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya untuk menertibkan Cirebon, namun pasukan Tumenggung Jagabaya disergap oleh pasukan gabungan Demak Cirebon di Gunung Sembung. Konon kabar Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk islam.

Sri Baduga kemudian mempersiapkan pasukannya yang lebih besar untuk menyerang Cirebon, namun berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi di keraton), dengan pertimbangan tidak baik jika seorang Sri Baduga menyerang anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara Merdeka.

Perlakuan Sri Baduga sebelumnya yang merestui Walangsungsang untuk menjadi raja di Cirebon dan memberinya gelar Sri Mangana sangat berlainan dengan peristiwa ini. Hal demikian konon kabar adanya kekhawtiran Sri Baduga tentang eratnya hubungan Cirebon dengan Demak. Sebagaimana dengan adanya ikatan 4 orang keturunannya dengan putra-putri Demak. Disamping itu Demak pun menghadirkan armadanya di Cirebon.

Kekhawatiran Sri Baduga mungkin sangat masuk akal. Pertama, suatu rahasia umum jika Pajajaran sangat lemah di laut namun kuat didarat sehingga jika terjadi peperangan pasukan Demak dapat menyerang dari arah laut dengan kekuatan meriamnya. Disatu sisi, satu hal yang tidak mungkin jika Pajajaran langsung menyerang Demak dengan tanpa adanya suatu sebab perseteruan langsung.

Kedua, kiranya perlu ada kajian yang lebih dalam tentang ini. Apakah kekhawatiran Sri Baduga memang untuk kepentingan penyebaran agama atau masalah politik perdagangan. Mengingat jika menyangkut masalah perkembangan agama islam, justru telah terjadi sejak jaman Sang Bunisora – buyut Sri Baduga dan tidak pernah terjadi benturan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Haji Purwa Galuh, putra dari Sang Bunisora menjadi penganut islam dan Haji pertama di tatar Sunda. Selain itu, Sri Baduga pun tidak melarang Walangsung dan Rarasantang, putra putrinya memeluk agama islam.

Pasca wafatnya Sri Baduga hubungan Cirebon – Pajajaran makin memanas, tak kurang dari lima belas kali (Carita Parahyangan) dalam waktu lima tahun peperangan terjadi di front barat. Sementara di front timur penguasa Galuh mulai ikut campur untuk mengembalikan Cirebon sebagai bagian dari negaranya. Ketika masa persiapan penyerangan ini Pangeran Walangsungsang wafat, sehingga penyerangan ke Galuh menjadi terhambat.

Penyerangan ke Talaga kemudian terlaksana satu tahun setelahnya. Talaga merupakan benteng akhir dari kekuasaan Galuh di wilayah timur Citarum. Dengan demikian pada tahun 1528 M praktis Galuh dikuasai Cirebon. Namun patut dicermati, peperangan ini terjadi antara satu keturunan yang sama, asli teureuh sunda – Galuh. Ibunda penguasa Galuh, Mayangsari masih keturunan Dewa Niskala, sedangkan Sayrif Hidayat terhitung buyut dari Dewa Niskala. Hanya saja dalam pertempuran itu, pasukan Cirebon banyak dibantu pasukan Demak yang telah memiliki senajat Meriam, pada waktu itu disebut pada berapi.

Dengan dikuasainya wilayah Galuh sudah cukup bagi Syarif Hidayat menghentikan serangannya ke Pakuan, bahkan batas kekuasaan Cirebon sudah mendekati Citarum.

Menurut Yoseph Iskandar : “Kemenangan Cirebon di wilayah timur telah memperluas kekuasaan Sunan Jati. Sumedang masuk dalam wilayah kekuasaan Cirebon, ditempuh dengan jalan perkawinan kerabat Keraton Cirebon dengan Sumedanglarang. Sebagai tanda kekerabatan, Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) berjodoh dengan Ratu Satyasih, penguasa Sumedang Larang yang bergelar Pucuk Umum Sumedanglarang, ia pun putra dari Pengeran Muhamad (Pangeran Palakaran) cucu dari Pangeran Panjunan Cirebon”.

Pengaruh keruntuhan Galuh akibat salah perhitungan Prabu Jayaningrat menginspirasi Prabu Wisesa (Pakwan) untuk mengukuhkan – mempertahankan wilayah yang tersisa. Disatu sisi Susuhunan Jati sudah cukup puas dengan wilayah yang ada saat ini, maka Kemudian Prabu Surawisesa mengirimkan utusan ke Cirebon untuk melakukan perdamaian. Hal ini pun disambut baik oleh Susuhunan Jati.

Yoseph Iskandar didalam buku yang sama menjelaskan, bahwa : “pada tanggal 14 paro terang bulan Asadha tahun 1453 Saka atau 12 Juni 1531 M, perjanjian damai disepakati :
(1) kedua belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang, silih asih ; dan
(2) kedua belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris Sri Baduga Maharaja, janganlah putus.

Menurut Carita Parahyangan (Kropak 406) dijelaskan mengenai Surawisesa, yakni: Kadiran, kasuran, kuwanen, prangrang limawelas kali henteu eleh (Perwira, perkasa, pemberani, perang lima belas kali tidak pernah kalah)”.

Perjanjian tersebut dari pihak Cirebon terlibat juga para endoser perjanjian, yakni Syarif Hidayat, Fadillah Khan, Panembahan Hasanudin dan Panembahan Yusuf (Banten).

Perjanjian tersebut rupanya tidak dapat bertahan selamanya, pasca meninggalnya para penandatanganan perjanjian dan Prabu Surawisesa, kemudian Panembahan Yusuf (Banten) tergoda untuk menaklukan Pajajaran, sekalipun telah beberapa kali ia lakukan namun tak pernah membuahkan hasil. Maka pada tahun kesembilan masa pemerintahannya ia menyerang Pakuan dengan mengerahkan pasukan gabungan Banten – Cirebon. Itupun berhasill mendobrak benteng Pakuan setelah ada bantuan dari prajurit Pajajaran yang berkhianat dengan cara membuka gerbang dari dalam.

Menurut Pustaka Nusantara III/I dan Pustaka Kertabhumi : Pajajaran Sirna Ing Bhumi ing ekadacaicuklapaksa wesakhamasa sahasra limangatus punjul siki ikang cakakala (tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501), bertepatan dengan 8 Mei 1579 M atau 11 Tabiul awal 987 H.


Bahan Bacaan :

1.Tokoh Pangeran Wangsakerta Menurut Tradisi Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, dalam buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta – Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
2. http:/id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon
3. rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat, proyek penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat – Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
4. Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten – 2005.

di posting dari sumber :http://akibalangantrang.blospot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar