Sejarah Cirebon menurut berbagai pihak di Cirebon adalah berarti sejarah Indonesia dan sejarah umat Islam. Setidaknya itu adalah anggapan Tim Pemurnian Sejarah Cirebon, seperti yang diungkapkan Kartani dan Kaenudin. Menurut mereka Belanda di Cirebon tidak hanya merusak Aqidah Islam tapi juga sejarah Islam di Cirebon. Menurut Prof. A. Hasjmy, sejarah umat Islam dan Indonesia telah diputarbalik oleh Belanda dan musuh-musuh Islam, begitu juga pendapat H. Alamsyah Ratu Prawiranegara tahun 1981. Sehingga Prof. Mr. MM Djojodigoeno menekankan penting penyelidikan sejarah dilakukan oleh bangsa sendiri untuk mendapatkan obyektifitas.
Khusus masalah sejarah Cirebon, Tim pemurnian Sejarah Cirebon dalam suratnya bernomor 01/TPSC/IX/2005 yang ditujukan pada para pimpinan daerah dan para tokoh Cirebon menyatakan bahwa sejarah Cirebon telah dimanipulasi oleh bangsa sendiri (Wong Cherbon), yang mengakibatkan terjadinya sejarah peteng (gelap). Anggota tim ini antara lain Ki Kuwu Abadi, Ketua Forum Komunikasi Kuwu Bersatu Kabupaten Cirebon, Ki Kartani sejarawan Cirebon, Drs. R. Udin Kaenudin, Msi yang menyatakan diri keturunan pendiri Cirebon (P. Cakrabuana), Pangeran Makmur S.Sos, Sesepuh Martasinga Wargi Kasultanan Cirebon dan Ahmad Jazuli dari LSM Tunas Nusantara.
Dari sumber literatur dalam negeri, disebutkan pada hari Jum’at kliwon tanggal 14 Kresna Paksa Cetra Masa 1367 Saka diperkirakan tahun 1445 Masehi, Pangeran Walangsungsang Putra Raja Pajajaran Sri Beduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi, mulai membuka hutan bersama 52 orang penduduk dipesisir utara Jawa. Tempat itu kemudian disebut dukuh Tegal Alang-alang yang makin lama menjadi ramai, sehingga karena adanya interaksi sosial yang tinggi, datanglah para pedagang dan orang-orang untuk menetap, bertani dan menjadi nelayan.
Dukuh Tegal Alang-alang kemudian diberi nama Desa Caruban karena penduduknya dari berbagai suku bangsa, Caruban berarti campuran. Sumber-sumber Barat yang monumental seperti catatan Tome Pires (Portugis) menyebut Cirebon dengan Corobam, dalam catatannya Pires mengatakan Corobam adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar besar dan sentra perdagangan yang merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Sumber-sumber Belanda menyebutnya Charabaon (Rouffaer) Cheribon atau Tjerbon (Kern). Dan dari sumber lokal didapat penyebutan Sarumban, Carbon, Caruban, Cherbon bahkan Grage.
Masyarakat kemudian memilih Ki Danusela yang disebut Ki Gedeng Alang-alang selaku penguasa Tegal Alang-alang sebagai Kuwu Carbon I, sedangkan Pangeran Walangsungsang sebagai Pangraksa Bumi dengan gelar Ki Cakra Bumi. Pada tahun 1447 Ki Danusela meninggal dan Ki Cakra Bumi dipilih masyarakat untuk menggantikannya sebagai Kuwu Carbon II dengan sebutan Pangeran Cakra Buwana. Sebelum membuka Dukuh Tegal Alang-alang Pangeran Walangsungsang dan para pengikutnya telah lebih dulu masuk Islam.
Oleh karena itu perlu juga dikemukakan beberapa masalah sebelumnya yakni, beberapa kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon. Beberapa Kerajaan dan keraton itu antara lain, Kerajaan Indraprahasta, Keraton Carbon Girang, Keraton Singapura, Keraton Japura dan Keadipatian Palimanan dibawah Pemerintahan Keraton Rajagaluh.
1. Kerajaan Indraprahasta
Diperkirakan berdiri tahun 363 – 723 Masehi, lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Raja pertamanya Resi Santanu dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.
Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warman Dewi, Raja Slakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas.
Raja-raja yang pernah berkuasa adalah :
1. Prabu Resi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana, memerintah tahun 363 – 398 M
2. Prabu Resi Jayasatyanegara ( 398 – 421 )
3. Prabu Resi Wiryabanyu, mertua dari Prabu Wisnuwarman ( 421 – 444 )
4. Prabu Wama Dewaji ( 444 – 471 )
5. Prabu Wama Hariwangsa ( 471 – 507 )
6. Prabu Tirta Manggala Dhanna Giriswara ( 507 – 526 )
7. Prabu Asta Dewa ( 526 – 540 )
8. Prabu Senapati Jayanagranagara ( 540 – 546 )
9. Prabu Resi Dharmayasa( 546 – 590 ), masa lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tahun 571 M
10. Prabu Andabuwana, ( 590 – 636) menjelang berakhir masa kekuasaannya Nabi Muhammad SAW. Wafat, sekitar tahun 632 M.
11. Prabu Wisnu Murti ( 636– 661 ), Tentara Islam sudah membebaskan wilayah Palestina, Syiria, Irak, Mesir dan jauh sebelumnya Yaman sudah dalam kekuasaan Islam sejak menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW.
12. Prabu Tunggul Nagara ( 661 – 707 ), pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.
13. Prabu Resi Padma Hari Wangsa ( 707 – 719 ), pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu itu juga sudah terkenal.
14. Prabu Wiratara ( 719 – 723 ), pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah menjadi super state dan dari keunggulan militer telah menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa dibawah peradaban Romawi dan Yunani.
Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
2. Keraton Carbon Girang
Keraton Carbon Girang berasal dari keraton Wanagiri, setelah runtuhnya Indraprahasta yang didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana.
Keraton Carbon Girang antara lain diperintah oleh :
1. Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng Kasmaya.
2. Ki Ghedeng Carbon Girang Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445. Kemudian setelah Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II, pada tahun 1454 diangkat oleh Raja Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana.
3. Keraton Singapura
Singapura merupakan sebuah pemerintahan bawahan Galuh yang sejajar dengan Keraton Carbon Girang. Letak Keraton Singapura sekira empat kilometer utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati sekarang), batas dan luas tidak jelas, tetapi ada perkiraan sebagai berikut ;
Sebelah Utara berbatasan dengan Surantaka,
Sebelah Barat berbatasan dengan Carbon Girang,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Keraton Japura,
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa Teluk Cirebon.
Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ghedeng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Pada masa pemerintahan Ki Ghedeng Tapa itulah dibangun Mercusuar yang pertama oleh Laksamana Te Ho tahun 1415 Masehi. Mercusuar tersebut menjadi awal kebangkitan kegemilangan Pelabuhan Cirebon. Singapura telah berdiri sebelum Prabu Siliwangi naik tahta pada tahun 1428.
4. Keraton Japura
Japura berasal dari kata ” Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi ;
Sebelah Utara Laut Jawa,
Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring,
Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci,
Sebelah Timur Desa Gebang
Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti Mandra Guna.
5. Keadipatian Palimanan
Keadipatian Palimanan dibawah pemerintahan Raja Galuh, dipimpin oleh seorang Adipati bernama Arya Kiban. Pusat Keadipatian terletak di Pegunungan Kapur Gunung Kromong Kecamatan Palimanan sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan Banyu Panas, saat itu wilayahnya meliputi Kecamatan Ciwaringin dan Kecamatan Susukan. Masa Keadipatian berlangsung hingga tahun 1528, pada saat pecahnya perang terakhir di Gunung Gundul antara Palimanan melawan Carbon.
Hampir terjadi peperangan antara Kerajaan Galuh yang beribukota di Galuh Pakuan melawan Pakuan Pajajaran. Pada perundingan diplomatik para tokoh kedua Kerajaan ditunjuklah Jaya Dewata, putra Prabu Dewa Niskala dari Galuh sebagai penengah dan penyelamatan dua tahta, pada tahun 1482 Jaya Dewata menerima Tahta Galuh dari ayahandanya Prabu Dewa Niskala dan dari mertuanya yaitu Prabu Susuk Tunggal menerima tahta Pakuan Pajajaran. Sebagai penguasa dua Kerajaan Jaya Dewata berhak menyandang gelar Sri Baduga Maha Raja, masyarakat Jawa Barat memberi gelar kepadanya Prabu Siliwangi yang berarti Raja pengganti Prabu Wangi, Keratonnya disebut Keraton Pakuan Pajajaran.
Prabu siliwangi menikah dengan Nyai Subang Larang tahun 1422, dari istrinya ini memiliki 3 orang anak yaitu Pangeran Walangsungsang lahir 1423, Nyai Lara Santang lahir 1426 dan Raja Sangara lahir tahun 1428 M, ketiganya kelak masuk Islam dan Pangeran Walangsungsang kemudian mendirikan Cirebon dan diikuti kedua adiknya itu.
Tahun 1442 M, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton Pajajaran untuk berguru Agama Islam ke Daerah Timur, yakni Gunung Amparan Jati tempat dakwahnya Syekh Nur Jati atau Datuk Kahfi yang berasal dari Parsi.
Atas petuah Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang kemudian berangkat Naik Haji ke Mekkah. Hal itu terjadi setelah membuka Cirebon. Mereka tidak langsung pulang, Nyai Lara Santang kemudian menikah dengan penguasa Mesir yaitu Syarif Abdullah. Dari pernikahan ini mendapat dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Sepulang naik haji, Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana selain mendirikan Mesjid juga sebuah rumah besar untuk ditempati bersama putrinya yang bernama Nyai Pakung Wati, dari perkawinannya dengan Nyai Endang Geulis.
Setelah Ki Jumajan Jati, Kakek Pangeran Cakrabuwana meninggal Keratuan Singapura vakum, harta kekayaannya kemudian dibawa ke Carbon untuk membangun Keraton Pakung Wati dan membentuk Prajurit yang disebut Dalem Agung Nyai Mas Pakung wati.
Tahun 1470, Syarif Hidayatullah datang ke Pulau Jawa, mulanya ke Banten, kemudian ke Jawa Timur untuk mengikuti musyawarah dengan para Mubaligh yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah melahirkan pembentukan Dewan Wali Sanga, suatu lembaga kepemimpinan presidium penyebaran Islam di tanah Jawa. Hasil musyawarah menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai penanggung jawab dakwah Islam di Jawa Barat dengan pusat penyebaran Carbon.
Untuk itu Syekh Syarif Hidayatullah menemui Uwaknya yaitu Pangeran Cakrabuwana Kuwu Carbon II yang sudah menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana. Bersama beliau Syekh Syarif Hidayatullah membuat basis penyebaran yakni Padepokan Pekikiran di Gunung Sembung. Dakwah dilancarkan ke daerah Luragung, Palimanan dan Kuningan.
Sunan ampel Wafat tahun 1478 M, Syarif Hidayatullah ditunjuk sebagai penggantinya. Selanjutnya pusat penyiaran Islam di tanah Jawa dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut Puser Bumi. Pusat pemerintahan di Pakung Wati yang ibu kotanya disebut Grage. Saat itu pula dibangun Mesjid agung Sang Cipta Rasa.
Pada tahun 1482 M, Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Carbon I membuat pernyataan kepada Maha Raja Pakuan Pajajaran Sri Baduga Maha Raja Prabu Siliwangi, bahwa Kasultanan Carbon adalah sebuah negara merdeka. Peristiwa tersebut terjadi pada Dwa Daksi Sukla Paksa Cetra Masa Sahasra Patang Atus Papat Ikang Sakakala (12 Cetra masa 1404 Saka) bertepatan dengan tanggal 12 Shafar 887 Hijriyah, menurut Ki Kartani tahun 888 Hijriyah atau 2 April 1482 M jatuh pada hari Kamis.
Menurut sejarawan Cirebon, alasan yang mendorong Syarif Hidayatullah melakukan tindakan itu antara lain :
1. Pindahnya ibukota kerajaan yang membawahi Carbon dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (Bogor), maka jarak Carbon menjadi jauh.
2. Syarif Hidayatullah telah mendapat mandat dari Dewan Wali Sanga untuk menyebarkan Islam di Tatar Jawa bagian Barat (sunda).
3. Carbon mendapat dukungan tentara Demak berdasarkan perjanjian persahabatan dan dalam musyawarah Wali Sanga, terlebih setelah Sunan Ampel Wafat.
Dilihat dari alasan diatas, alasan kedualah yang paling kuat, karena dakwah tidak akan berhasil tanpa kekuatan politik, padahal itu takkan didapat dari Pakuan Pajajaran yang Hindu. Dan untuk itu Syarif Hidayatullah berani menempuh resiko apapun.
Jelas ini merupakan tamparan keras bagi Prabu Jaya Dewata yang baru saja dinobatkan menjadi Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi. Perhitungan Moral sebagai cucu kepada kakek dikesampingkan untuk menegakkan kebenaran yang diyakini, yakni Islam.
[ Jelas ini merupakan tamparan keras bagi Prabu Jaya Dewata yang baru saja dinobatkan menjadi Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi. Perhitungan Moral sebagai cucu kepada kakek dikesampingkan untuk menegakkan kebenaran yang diyakini, yakni Islam. ]
BalasHapusmaaf mas,,klo saya ga salah Raja Padjajaran Terakhir yg bergelar Sri Baduga Maharaja naek tahta jauh sebelum Syekh Syarif Hidayatullah {Sunan Gunung Jati} itu dilahirkan...
terus di sejarah Legenda Gunung Ciremai : "Secara singkatnya,konon Walisongo melakukan perjalanan mendaki gunung Ciremai dan di pandu oleh kakeknya Sunan Gunung Jati."
jd kesinambungan dari tulisan 1 dengan yang laennya gimana tuh mas???
Maaf saya menanyakan bukan b'maksud menggurui atau apapun,,tapi hanya sekedar ingin lebih tahu hubungan fakta cerita tersebut..
terima kasih atas perhatiannya..